Senin, 18 Oktober 2010

Akhir di Surakarta

“ Kalau aku sarankan kamu jangan dekati Kiara lagi.”

“Kenapa? Apa yang membuatmu biacara begitu? Atau kamu merasa tersaingi? Karena Kiara lebih cantik? Ayolah Mia! Kamu kan tahu persis perasaanku ke Kiara?”

“Aku yak mau hal itu terjadi pada sahabatku lagi. Kalau tetap dekati Kiara terserah tapi ingat aku kali ini tak berada di belakangmu seperti kemarin – kemarin.”

“Hal apa? Aku gak mengerti!!”

Peristiwa ini terekam jelas dalam memori Diaz. Cowok berpostur tinggi, kulit sawo matang, mantan ketua OSIS, dan masih aktif ikut futsal. Dia sekarang menyesal tak mengindahkan peringatan Mia saat itu. Ternyata Kiara mudah ia dekati karena Kiara punya maksud di balik itu. Kiara menginginkan popularitas saja, jika ia menjadi pacar ketua OSIS pasti dengan mudah ia akan menjadi terkenal dan punya posisi yang kuat. Diaz menjadi jauh dengan Mia, himgga mereka lulus persahabatan Mia dan Diaz masih renggang.

Saat ini Diaz merasa menyesal, ia kehilangan sahabat terbaiknya. Keberadaan Mia saat ini tak diketahui Diaz. Setelah mereka lulus, mereka tak saling menghubungi lewat telepon atau email. Diaz sekarang kuliah di UGM, Kiara juga kuliah di UGM meski mereka masih sama – sama di Jogja, sudah tidak saling berkomunikasi lagi. Dulu Mia dan Diaz berharap jika mereka lulus akan melanjutkan ke UGM, tapi Mia tak mengikuti tes ujian masuk walaupun ia sudah mendaftar. Saat masuk kuliah baru diketahui Diaz kenapa Mia tak menjadi mahasiswa UGM, dia berusaha menghubungi rumah Mia tapi ternyata Mia dan keluarganya sudah pindah.. Ia bertanya kepada teman – temannya tapi mereka gak tahu.

Berminggu – minggu Diaz mencari keberadaan Mia tapi hasilnya nihil. Dia merasa sudah tak ada harapan lagi. Ia menyerah untuk mencari Mia. Saat ia memutuskan untuk menyerah ada perasan lain yang mengatakan untuk tidak menyerah. Tapi Diaz tak mempedulikan itu.

***

“Apa kabar?”

“Heh, baik. Apa kabar?” Diaz terkejut melihat Kiara.

“Sombong sekali! Sama – sama kuliah di sini tapi tak telepon atau sms?”

“Kamu sendiri? Sibuk apa sekarang? Masih ikut dance?”

“Maaf. Sibuk seh. Masih, sekarang sibuk cari anggota baru. Kamu sendiri sibuk apa sekarang? Masih ikut futsal?”

“ Masih.” Singkat jawaban Diaz membuat Kiara bingung untuk bertanya apa lagi akhirnya ia memutuskan untuk pergi karena masih harus menemui anggota dance lainnya.

Diaz sendiri tak terlalu memperdulikan itu, ia langsung melesat menuju rumah karena entah mengapa dia merasa sangat rindu rumahnya. Ia melewati rumah Mia, ada kerinduan yang amat mendalam dalam hati cowok jawa tulen ini. Ia merasa ada yang hilang dalam hatinya. Ia berhenti sebentar di depan rumah Mia, ia seperti melihat seseorang di rumah itu padalhal ia tahu rumah itu kosong. Diaz turun dari motornya, mendekati rumah Mia memastikan apa ada orang di sana tapi Diaz hanya menemui rumah itu dalama keadaan kosong seperti biasanya. Tapi ia yakin tadi ada seseorang di rumah Mia. Seorang perempuan berjilbab, Bulu kudu Diaz berdiri.ia merasa ngeri membanyangkan kalau yang ia lihat adalah hantu atau semacamnya.

“Ada apa nak?” Suara dari belakang mengagetkan Diaz. Ia Menoleh ternyata benar ada seorang perempuan berjilbab yang kira – kira berumur sekitar lima puluh tahunan.

“Ehm, tadi saya lewat depan rumah ini, karena saya merasa rindu dengan orang yang tinggal di rumah ini saya berhenti dan kemari. Kalau boleh saya tahu Ibu siapa ya?”

“Oh, pasti sampeyan ini teman anaknya Doro Aji?”

“Doro Aji? Setahu saya nama orang tua Mia dr. Sutarji?”

“Ya kalau pembantu disini menyebutnya Doro Aji.”

“Ibu sudah berapa lama kerja di sini? Saya jarang bertemu Ibu waktu Mia masih di sini?”

“Saya pembantunya di Solo, saya ke sini untuk mengecek keadaan rumah ini, katanya mau ada yang menempati rumah ini.”

“Solo? Mia dan keluarganya mau kembali ke sini?” Diaz merasa sanagt senang. Dalam hatinya berdoa semoga yang ia katakana diiyakan oleh orang ini.

“Sepertinya bukan, Den. Mereka masih ada di Solo, mereka menetap di sana selama masih ada tugas dinas Doro Aji.”

“Mereka ada di solo? Kalau boleh saya tahu mereka tinggal dimana Bu?”

Ibu itu masuk ke rumah dan membawa secarik kertas berisi alamat dr.Sutarji di Solo. Diaz menerimanya dengan hati yang berbunga – bunga. Akhirnya ia tahu dimana Mia sekarang. Ternyata Mia tak jauh darinya, hanya di Solo pikir Diaz. Kota yang dapat ia tempuh hanya satu jam menggunakan kereta api, atau dua jam perjalanan dengan kendaraan bermotor.

Setelah berpamitan dengan Ibu penjaga rumah Mia, Diaz pulang ke rumahnya. bergegas ia mengepak barang – barangnya dan menuju kota Solo. Di stasiun Diaz langsung membeli tiket tujuan Solo, tapi nasib memang belum berpihak pada Diaz.

Pagi – pagi Diaz mengandarai mobilnya dan melaju dengan cukup kencang. Mentari mulai tinggi tapi ia tak peduli, 2 jam berlalu ia berada pada sebuah kampus yang cukup terkenal di Solo ”Uniersitas Sebelas Maret”. Mencoba mencari sesosok wajah yang dikenalnya setahun lalu. Mengeliling UNS tak seperti mengelilingi UGM pikir Diaz. Aku akan menemukanmu Mia. Senja sore tlah nampak, tapi Diaz gagal menemukan Mia. Pening! Hatinya mulai resah tak mendapati Mia di kampusnya. Hampir saja ia menabrak seseorang yang berjalan di depannya. Seorang wanita muslimah yang mengenakan jilbab panjang.

” Maaf. Nyuwun pangapunten.” belum sempat Diaz mengucakan kata yang lain ia dikejutkan dengan siapa wanita itu.

” Diaz!” sejenak mereka tak percaya dengan pertemuan yang tak sengaja. Dengan wajah tololnya Diaz masih terbengong – bengong.

” Assalamualaikum.” sapanya lembut. Sedetik dua detik dan baru detik ke sepuluh Diaz menjawab. ” Wa...alaikum..salam.”

Sejenak mereka berdua dihadapkan pada situasi yang sangat canggung. Tak ada suara, suasana menjadi sebuah paradoks dua jiwa yang terbelenggu rantai, membatu dan pecah. Tapi inilah akhirnya.

0 komentar:

Posting Komentar

tea.blutterfly@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.