Stasiun Purwosari, Solo
Ini waktunya aku kembali untuk
menyelesaikannya, skripsi yang harus diselesaikan untuk mendapatkan gelar
sarjanaku. Kembali ke kota itu, kota yang mengajarkanku banyak hal, Bandung.
Juga setelah di rumah dan dijejali begitu banyak nasehat juga nasehat dari
saudara di Solo serta banyak pertanyaan
‘Kapan wisuda?’ ‘Kapan nyusul sepupumu menikah?’ Jadilah aku putuskan untuk
pulang ke Bandung dari Solo, rasanya Jogja masih rindu rumah, tapi ini harus
segera diselesaikan. Semburat senja di Solo menemaniku menunggu kereta yang
akan datang membawaku kembali. Ah lama sekali aku tak megunjungi Solo, kalau
bukan karena ada acara nikahan saudara mungkin aku tak kesini. Stasiun ini juga
banyak berubah, secara interior saja mungkin, bahkan aku sudah sedikit lupa
seperti apa dulu, tapi yang aku ingat bangunan ini masih sama. Sepertinya jauh
lebih baik dari dulu, seringnya turun di stasiun Balapan, atau di stasiun
Solojebres, tapi kini ada perubahan jadwal yang memindahkan hampir semua
perjalan kereta ekonomi dari Solojebres ke Purwosari.
Dengan alasan stasiun Purwosari
dirasa lebih strategis dibandingkan stasiun Solojebres maka hampir seluruh
kereta ekonomi dipindahkan ke stasiun ini. Secara transportasi stasiun
Purwosari memang strategis seperti stasiun Balapan yang ketika kita keluar dari
stasiun kita bisa naik bis kota, tapi untuk menjangkau rumah saudaraku jadi
agak jauh. Kota kecil ini menurutku juga banyak berubah, lebih rapi dan lebih
berkembang dengan banyaknya pusat perbelanjaan dan juga tata taman kota serta
pengembalian beberapa tempat umum serta monument. Pasar – pasar tradisional di
Solo juga lebih rapi dan bersih walaupun hanya sempat mampir ke Pasar Gedhe
tapi menurut pedagang disana pasar yang lain juga lebih baik. yang sudah
menunggu di peron yang sudah ditentukan sudah mulai naik satu per satu. Senja
Kereta yang aku tunggu sudah datang,
para penumpang jingga lambat laun menjadi gelap, tak lama kereta menuju stasiun
berikutnya, dengan tujuan akhir Bandung. Aku mencari tempat dudukku, sayang
ekali kali ini aku tak mendapatkan tempat duduk di dekat jendela, mungkin
karena aku membeli tiket dekat dengan hari keberangkatan, jadi sudah hampir
penuh, dan tak hanya itu aku juga mendapatkan tempat duduk dekat dengan pintu
kereta. Mendapatkan tempat duduk yang dekat dengan pintu kereta itu sedikit
menyika karena banyak yang berlalulalang membuka pintu, ditambah lagi suara
berisik karena dekat itu berarti dekat dengan sambungan antar gerbong dan satu
lagi tidak enaknya adalah dekat dengan WC yang akan berbau tak sedap ketika
kereta sudah melakukan setengah perjalan. Kereta sudah mulai jalan kembali,
hanya beberapa menit saja berhenti di stasiun ini, baru saja aku menempati
tempat dudukku. Ah, ternyata kursi sebelah kosong pikirku, lumayan juga bisa
tidur sampai Lempuyangan. Tak bisa berharap untuk kosong sampai stasiun tujuan
karena kalau saja kosong pasti aku mendapatkan tempat duduk itu. Orang yang
duduk di depanku kali ini lebih tenang di banding waktu akupulang kemaren, kami
hanya saling melempar senyum dan tidak ada cerita, mungkin karena aku lelah
juga jadi malas untuk bertanya.
Rasanya ingin memejamkan mata,
tapi sepertinya takbisa untuk melakukan itu, akhirnya aku keluarkan buku bacaan
yang kadang aku bawa untuk mengusir bosan. Lempuyangan, akhirnya sampai di Jogjakarta. Ah, rasanya aku ingin turun dan
pulang ke rumah, tapi sudah aku bulatkan tekat untuk menyelesaikan apa yang
harus aku selesaikan. Itu tekatku! Penumpang yang naik dari stasiun ini cukup
banyak, salah satunya adalah penumpang yang akan nempati kursi sebelahku. Aku
hanya berharap yang akan menempatinya adalah penumpang wanita, agar lebih
nyaman duduk bersama. Agak malas kalau harus duduk dengan seorang pria yang tak
dikenal, rasanya tidak nyaman saja, banyak hal yang membuat tidak nyaman, salah
satunya adalah banyak berita tentang pelecehan di kereta, pria-pria berfikiran
picik dan jorok menurutku. Tapi jika itu seorang bapak-bapak tua biasanya aku
bisa bercerita dengannya, mungkin karena merasa seperti bapak, dan biasanya
baik juga.
“Permisi” suara seorang pria
mengagetkanku. “Oh, ya” jawabku singkat, tak melihat wajahnya dan langsung
memberikan jalan untuk menempati tempat duduknya di sebelahku, dan seketika aku
merasa kecewa karena yang duduk di sebelahku adalah seorang pria yang masih
muda dan entah kenapa seperti tidak asing. Ku beranikan diri untuk melihat
kesamping dan saat itu juga dia juga menengok ke arahku setelah selesai menaruh
tasnya di atas, aku yang salah tingkah hanya melempar senyum, dan begitupun
dia. Setelah ku perhatikan seksama, aku terkejut, dia, dia yang satu gerbong
denganku waktu itu, dia yang membawa bantal leher line. Dia yang menolongku
saat hampir terjatuh dari kereta. Dia
Aku memalingkan wajahku ke arah
depan, melihat ke pintu kereta yang tengah terbuka. Oh benar saja dia orangnya,
dia mengeluarkan benda yang sama saat itu. Dia yang entah siapa terasa dekat,
tapi aku tak mengenalnya. Apa ini yang dinamakan kebetulan? Kebetulan yang
mempertemukan aku dan dia kembali. Atau ini yang namanya takdir? Ah aku terlalu
banyak berfikir, terlalu berkhanyal tentang hal-hal yang tidak-tidak. Tapi rasa
penasaranku masih berputar-putar dipikiranku, siapa dia, mengapa aku merasa
pernah mengenalnya sebelumnya. Akhirnya aku putuskan untuk mengalihkan
pikiranku untuk membaca buku yang sudah aku diamkan dari tadi.
“Buku yang bagus ya.” Baru
beberapa halaman aku membaca buku suara di sebelah mengagetkanku membuatku
menoleh ke samping. “ Aku sudah menyelesaikan buku itu. Buku yang ketiga sudah
keluar,tapi sayang belum sempat membelinya.” tambahnya lagi. Aku sepertinya tak
salah dengar, ya dia mengajakku bicara dengan memberikan komentar pada buku
yang aku baca. “ Ya benar, buku yang bagus, filmnya pun bagus, tapi aku lebih
suka membaca bukunya, oya buku ketiga ya, sudah punya sih, tapi belum sempat
membacanya, buku ini saja belum selesai dibaca.” Aku menyindir diriku sendiri.
Bagaimana sempat aku membaca buku ini, kalau tugas akhirku saja masih meronta
untuk diselesaikan. “Benarkah? Boleh aku meminjamnya? Tak punya waktu juga
sepertinya aku untuk membelinya, dan sepertinya bisa lebih hemat.” Katanya antusias ingin sekali sepertinya dia membaca
buku lanjutan yang belum sempat ia baca, buku yang memang memberikan semangat
lewat cerita-cerita pribadi penulis, dalam seri ‘Lima Menara’. “Boleh, silakan saja mampir ke kampus putih
biru.” Jawabku begitu saja, apa yang aku pikirkan? Bahkan aku belum tahu siapa
namanya tapi sudah menawarkan untuk main ke kampusku.
Setelah itu banyak hal yang aku
dan dia obrolkan, ternyata benar saja aku pernah melihatnya di salah satu
kegiatan sosial yang diadakan oleh kampus. Dia adalah salah satu mahasiswa di
universitas negeri di Jogja yang sedang menjalankan masa profesi dokter muda di
Bandung yang tinggal beberapa bulan lagi. Aku dan dia ikut serta dalam kegiatan
bakti sosial pengobatan gratis yang diadakan di daerah Baleendah yang sering
terkena banjir, jika aku kesana hanya mewakili organisasiku sebagai Pers, dia
diundang sebagai dokter karena Rumah Sakit ia bekerja menugaskan dokter-dokter
muda untuk ikut berpartisipasi,tentunya dengan kerja sama dengan kampus. Begitu
kebetulan ternyata, atau sebuah keberuntungan. Rasa kantuk mulai menghampiriku,
dan tak ingat lagi apa yang kami bicarakan setelahnya, aku mulai tertidur dan
ketika bangun ku dapati dia masih tertidur lelap dengan bantal lehernya. Aku
tersenyum sendiri, entah apa yang membuatku tersenyum, mungkin masih teringat
percakapan semalam mengenai kejadian-kejadian lucu di kereta yang hampir sama
aku alami, dan agak heran juga ketika seorang calon dokter yang notabene pasti
bukan dari orang-orang yang biasa memilih untuk naik kereta ekonomi
dibandingkan naik kereta bisnis atau malah eksekutif yang mudah saja ia
dapatkan, “Kenapa harus boros jika kita bisa berhemat? Disini bisa menemukan
banyak hal lucu, dan lebih tidak merasa sendiri walaupun jarang ngobrol dengan
mereka.” Begitu katanya. Benar, aku juga memilih kereta ekonomi jika memang
tidak terdesak oleh waktu dan tidak membawa barang banyak, ada banyak yang bisa
menjadi sebuah pelajaran disini.
Sebentar lagi kereta akan
berhenti di Stasiun terakhir, stasiun tujuanku dan dia. Kiara Condong, Bandung.
Pagi ini pun aku dan diatak banyak bercerita kembali, mungkin sibuk dengan
pikiran kami masing-masing. Aku harus melangkahkan kakiku dengan mantap untuk
menyelesaikan tugasku. Mungkin jika ada kesempatan lagi aku akan bertemu dengan
dia kembali. Walaupun hanya sepanjang perjalan di kereta aku banyak memperoleh
pelajaran darinya. Keretaakan segera berhenti, dan kami akan segera menuju
tujuan masing- masing. Entah kenapa ada rasa ingin memperpanjang perjalananku
dan dia, tapi tak mungkin. Kereta tiba sedikit terlambat, hanya sedikit saja,
ku langkahkan kakiku menuju pintu kereta
yang sudah banyak penumpang mengantri turun. Dia tepat di belakangku. Akhirnya
sampai di tujuan. Bukan berarti ini tujuan akhirku, tapi ini adalah awal untuk
mengakhiri kegiatanku di sini. Udara pagi yang masih segar bisa dirasakan
begitu kaki melangkah keluar kereta.
“Sampai jumpa mas, semoga bisa
ketemu kembali lain kali.” Kusampaikan salam perpisahan untuknya ketika aku dan
dia berjalan menuju pintu keluar stasiun. “ Oh ya, pasti kita akan bertemu
kembali, nanti kalau aku kosong aku akan mampir ke kampusmu mengambil buku. Oke?”
Jawabnya sambil melambaikan tangan kepada temannya yang sudah menunggu di depan
sebuah mobil hitam. “ Oya, silakan saja.” Jawabku singkat. “Oya, dijemput? Atau
mau bareng kita?” “Nanti dijemput teman.” Rasanya ingin mengatakan ‘Bolehkah
aku ikut?’ “Baiklah. Aku duluan ya,sudah ada yang harus dikerjakan.Hati-hati di
jalan. Sukses buat tugas akhirnya!” Dia tersenyum kepadaku dan berjalan menuju
temannya, senyum yang manis pikirku. Sekali lagi aku terdiam melihat dia
berjalan menjauh, memandang punggung itu kembali dan mungkin terlalu asyik
mengobrolkan hal lain aku bahkan tak mengucapkan terimakasih untuk waktu itu. Semoga
aku bertemu kembali entah kapan itu, dan aku akan berjalan menuju jalanku untuk
menyelesaikannya. Tak ada keraguan lagi kali ini.
0 komentar:
Posting Komentar