Jumat, 27 Juni 2014

Bandung, aku dan dia

Stasiun Purwosari, Solo
Ini waktunya aku kembali untuk menyelesaikannya, skripsi yang harus diselesaikan untuk mendapatkan gelar sarjanaku. Kembali ke kota itu, kota yang mengajarkanku banyak hal, Bandung. Juga setelah di rumah dan dijejali begitu banyak nasehat juga nasehat dari saudara di  Solo serta banyak pertanyaan ‘Kapan wisuda?’ ‘Kapan nyusul sepupumu menikah?’ Jadilah aku putuskan untuk pulang ke Bandung dari Solo, rasanya Jogja masih rindu rumah, tapi ini harus segera diselesaikan. Semburat senja di Solo menemaniku menunggu kereta yang akan datang membawaku kembali. Ah lama sekali aku tak megunjungi Solo, kalau bukan karena ada acara nikahan saudara mungkin aku tak kesini. Stasiun ini juga banyak berubah, secara interior saja mungkin, bahkan aku sudah sedikit lupa seperti apa dulu, tapi yang aku ingat bangunan ini masih sama. Sepertinya jauh lebih baik dari dulu, seringnya turun di stasiun Balapan, atau di stasiun Solojebres, tapi kini ada perubahan jadwal yang memindahkan hampir semua perjalan kereta ekonomi dari Solojebres ke Purwosari.
Dengan alasan stasiun Purwosari dirasa lebih strategis dibandingkan stasiun Solojebres maka hampir seluruh kereta ekonomi dipindahkan ke stasiun ini. Secara transportasi stasiun Purwosari memang strategis seperti stasiun Balapan yang ketika kita keluar dari stasiun kita bisa naik bis kota, tapi untuk menjangkau rumah saudaraku jadi agak jauh. Kota kecil ini menurutku juga banyak berubah, lebih rapi dan lebih berkembang dengan banyaknya pusat perbelanjaan dan juga tata taman kota serta pengembalian beberapa tempat umum serta monument. Pasar – pasar tradisional di Solo juga lebih rapi dan bersih walaupun hanya sempat mampir ke Pasar Gedhe tapi menurut pedagang disana pasar yang lain juga lebih baik. yang sudah menunggu di peron yang sudah ditentukan sudah mulai naik satu per satu. Senja
Kereta yang aku tunggu sudah datang, para penumpang jingga lambat laun menjadi gelap, tak lama kereta menuju stasiun berikutnya, dengan tujuan akhir Bandung. Aku mencari tempat dudukku, sayang ekali kali ini aku tak mendapatkan tempat duduk di dekat jendela, mungkin karena aku membeli tiket dekat dengan hari keberangkatan, jadi sudah hampir penuh, dan tak hanya itu aku juga mendapatkan tempat duduk dekat dengan pintu kereta. Mendapatkan tempat duduk yang dekat dengan pintu kereta itu sedikit menyika karena banyak yang berlalulalang membuka pintu, ditambah lagi suara berisik karena dekat itu berarti dekat dengan sambungan antar gerbong dan satu lagi tidak enaknya adalah dekat dengan WC yang akan berbau tak sedap ketika kereta sudah melakukan setengah perjalan. Kereta sudah mulai jalan kembali, hanya beberapa menit saja berhenti di stasiun ini, baru saja aku menempati tempat dudukku. Ah, ternyata kursi sebelah kosong pikirku, lumayan juga bisa tidur sampai Lempuyangan. Tak bisa berharap untuk kosong sampai stasiun tujuan karena kalau saja kosong pasti aku mendapatkan tempat duduk itu. Orang yang duduk di depanku kali ini lebih tenang di banding waktu akupulang kemaren, kami hanya saling melempar senyum dan tidak ada cerita, mungkin karena aku lelah juga jadi malas untuk bertanya.
Rasanya ingin memejamkan mata, tapi sepertinya takbisa untuk melakukan itu, akhirnya aku keluarkan buku bacaan yang kadang aku bawa untuk mengusir bosan. Lempuyangan, akhirnya sampai di  Jogjakarta. Ah, rasanya aku ingin turun dan pulang ke rumah, tapi sudah aku bulatkan tekat untuk menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan. Itu tekatku! Penumpang yang naik dari stasiun ini cukup banyak, salah satunya adalah penumpang yang akan nempati kursi sebelahku. Aku hanya berharap yang akan menempatinya adalah penumpang wanita, agar lebih nyaman duduk bersama. Agak malas kalau harus duduk dengan seorang pria yang tak dikenal, rasanya tidak nyaman saja, banyak hal yang membuat tidak nyaman, salah satunya adalah banyak berita tentang pelecehan di kereta, pria-pria berfikiran picik dan jorok menurutku. Tapi jika itu seorang bapak-bapak tua biasanya aku bisa bercerita dengannya, mungkin karena merasa seperti bapak, dan biasanya baik juga.
“Permisi” suara seorang pria mengagetkanku. “Oh, ya” jawabku singkat, tak melihat wajahnya dan langsung memberikan jalan untuk menempati tempat duduknya di sebelahku, dan seketika aku merasa kecewa karena yang duduk di sebelahku adalah seorang pria yang masih muda dan entah kenapa seperti tidak asing. Ku beranikan diri untuk melihat kesamping dan saat itu juga dia juga menengok ke arahku setelah selesai menaruh tasnya di atas, aku yang salah tingkah hanya melempar senyum, dan begitupun dia. Setelah ku perhatikan seksama, aku terkejut, dia, dia yang satu gerbong denganku waktu itu, dia yang membawa bantal leher line. Dia yang menolongku saat hampir terjatuh dari kereta. Dia
Aku memalingkan wajahku ke arah depan, melihat ke pintu kereta yang tengah terbuka. Oh benar saja dia orangnya, dia mengeluarkan benda yang sama saat itu. Dia yang entah siapa terasa dekat, tapi aku tak mengenalnya. Apa ini yang dinamakan kebetulan? Kebetulan yang mempertemukan aku dan dia kembali. Atau ini yang namanya takdir? Ah aku terlalu banyak berfikir, terlalu berkhanyal tentang hal-hal yang tidak-tidak. Tapi rasa penasaranku masih berputar-putar dipikiranku, siapa dia, mengapa aku merasa pernah mengenalnya sebelumnya. Akhirnya aku putuskan untuk mengalihkan pikiranku untuk membaca buku yang sudah aku diamkan dari tadi.
“Buku yang bagus ya.” Baru beberapa halaman aku membaca buku suara di sebelah mengagetkanku membuatku menoleh ke samping. “ Aku sudah menyelesaikan buku itu. Buku yang ketiga sudah keluar,tapi sayang belum sempat membelinya.” tambahnya lagi. Aku sepertinya tak salah dengar, ya dia mengajakku bicara dengan memberikan komentar pada buku yang aku baca. “ Ya benar, buku yang bagus, filmnya pun bagus, tapi aku lebih suka membaca bukunya, oya buku ketiga ya, sudah punya sih, tapi belum sempat membacanya, buku ini saja belum selesai dibaca.” Aku menyindir diriku sendiri. Bagaimana sempat aku membaca buku ini, kalau tugas akhirku saja masih meronta untuk diselesaikan. “Benarkah? Boleh aku meminjamnya? Tak punya waktu juga sepertinya aku untuk membelinya, dan sepertinya bisa lebih hemat.”  Katanya antusias ingin sekali sepertinya dia membaca buku lanjutan yang belum sempat ia baca, buku yang memang memberikan semangat lewat cerita-cerita pribadi penulis, dalam seri ‘Lima Menara’.  “Boleh, silakan saja mampir ke kampus putih biru.” Jawabku begitu saja, apa yang aku pikirkan? Bahkan aku belum tahu siapa namanya tapi sudah menawarkan untuk main ke kampusku.
Setelah itu banyak hal yang aku dan dia obrolkan, ternyata benar saja aku pernah melihatnya di salah satu kegiatan sosial yang diadakan oleh kampus. Dia adalah salah satu mahasiswa di universitas negeri di Jogja yang sedang menjalankan masa profesi dokter muda di Bandung yang tinggal beberapa bulan lagi. Aku dan dia ikut serta dalam kegiatan bakti sosial pengobatan gratis yang diadakan di daerah Baleendah yang sering terkena banjir, jika aku kesana hanya mewakili organisasiku sebagai Pers, dia diundang sebagai dokter karena Rumah Sakit ia bekerja menugaskan dokter-dokter muda untuk ikut berpartisipasi,tentunya dengan kerja sama dengan kampus. Begitu kebetulan ternyata, atau sebuah keberuntungan. Rasa kantuk mulai menghampiriku, dan tak ingat lagi apa yang kami bicarakan setelahnya, aku mulai tertidur dan ketika bangun ku dapati dia masih tertidur lelap dengan bantal lehernya. Aku tersenyum sendiri, entah apa yang membuatku tersenyum, mungkin masih teringat percakapan semalam mengenai kejadian-kejadian lucu di kereta yang hampir sama aku alami, dan agak heran juga ketika seorang calon dokter yang notabene pasti bukan dari orang-orang yang biasa memilih untuk naik kereta ekonomi dibandingkan naik kereta bisnis atau malah eksekutif yang mudah saja ia dapatkan, “Kenapa harus boros jika kita bisa berhemat? Disini bisa menemukan banyak hal lucu, dan lebih tidak merasa sendiri walaupun jarang ngobrol dengan mereka.” Begitu katanya. Benar, aku juga memilih kereta ekonomi jika memang tidak terdesak oleh waktu dan tidak membawa barang banyak, ada banyak yang bisa menjadi sebuah pelajaran disini.
Sebentar lagi kereta akan berhenti di Stasiun terakhir, stasiun tujuanku dan dia. Kiara Condong, Bandung. Pagi ini pun aku dan diatak banyak bercerita kembali, mungkin sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku harus melangkahkan kakiku dengan mantap untuk menyelesaikan tugasku. Mungkin jika ada kesempatan lagi aku akan bertemu dengan dia kembali. Walaupun hanya sepanjang perjalan di kereta aku banyak memperoleh pelajaran darinya. Keretaakan segera berhenti, dan kami akan segera menuju tujuan masing- masing. Entah kenapa ada rasa ingin memperpanjang perjalananku dan dia, tapi tak mungkin. Kereta tiba sedikit terlambat, hanya sedikit saja, ku langkahkan kakiku menuju  pintu kereta yang sudah banyak penumpang mengantri turun. Dia tepat di belakangku. Akhirnya sampai di tujuan. Bukan berarti ini tujuan akhirku, tapi ini adalah awal untuk mengakhiri kegiatanku di sini. Udara pagi yang masih segar bisa dirasakan begitu kaki melangkah keluar kereta.

“Sampai jumpa mas, semoga bisa ketemu kembali lain kali.” Kusampaikan salam perpisahan untuknya ketika aku dan dia berjalan menuju pintu keluar stasiun. “ Oh ya, pasti kita akan bertemu kembali, nanti kalau aku kosong aku akan mampir ke kampusmu mengambil buku. Oke?” Jawabnya sambil melambaikan tangan kepada temannya yang sudah menunggu di depan sebuah mobil hitam. “ Oya, silakan saja.” Jawabku singkat. “Oya, dijemput? Atau mau bareng kita?” “Nanti dijemput teman.” Rasanya ingin mengatakan ‘Bolehkah aku ikut?’ “Baiklah. Aku duluan ya,sudah ada yang harus dikerjakan.Hati-hati di jalan. Sukses buat tugas akhirnya!” Dia tersenyum kepadaku dan berjalan menuju temannya, senyum yang manis pikirku. Sekali lagi aku terdiam melihat dia berjalan menjauh, memandang punggung itu kembali dan mungkin terlalu asyik mengobrolkan hal lain aku bahkan tak mengucapkan terimakasih untuk waktu itu. Semoga aku bertemu kembali entah kapan itu, dan aku akan berjalan menuju jalanku untuk menyelesaikannya. Tak ada keraguan lagi kali ini.   

0 komentar:

Posting Komentar

tea.blutterfly@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.