Rabu, 09 April 2014

Jogja, aku dan dia

Jogja, aku dan dia
Sudah saatnya aku pulang, otakku sudah sangat penat dengan kerja keras yang masih tetap sama berkutat dengan Tugas akhir. Ya aku mahasiswa tingkat akhir yang sudah melebihi masa studi di kampus. Kampus putih biru, dari sekian mahasiswa yang msih belum mendapatkan gelar sarjana teknik, akulah itu. Tapi aku tak berkecil hati karena untuk menjadi mahasiswa teknik saja sudah menjadi kebanggaan tersendiri, ya seorang perempuan menjadi engineer. Hanya ada alasan kenapa bisa disini, tersesat masuk jurusan teknik atau tidak ada pilihan lain untuk melarikan diri dari rumah selepas SMA itu yang ada dipikiranku. Namun kita tak tau takdir apa yang akan datang esok, masih menjadi sebuah misteri. Ah, terlalu banyak, pulang.
Stasiun Kiaracondong, Bandung
Ah, rasanya lama sekali gak pulang. Dulu seringnya aku pakai kereta bisnis atau eksekutif untuk pulang kerumah, karena mungkin jarang banget pulang dan lebih nyaman, karena kereta ekonomi terlalu  penuh sesak oleh orang dan pedagang di kereta. Selain itu juga kereta ekonomi lama sampai tujuan karena hamper setiap stasiun yang dilewati berhenti. Tapi, saat ini lebih nyaman naik kereta ekonomi selain keadaannya sudah berubah menjadi lebih bersih, ber AC selain itu juga tidak ada tiket berdiri dan jarang pedagang yang masuk kereta. Selain itu juga banyak sekali kita bisa bertemu dengan orang- orang yang bisa kita ajak ngobrol sepanjang perjalanan. Tujuan akhirku? Jogjakarta.
Aku rasa stasiun ini banyak berubah juga, lebih tertib dan rapi. Hampir setiap stasiun kini tertib dan rapi. Pedagang yang tidak tertib kini sudah direlokasi. Mungkin pendapatan mereka akan berkurang atau bahkan tak punya pendapatan lagi nanti, tapi inilah realita,atau mungkin takdir-Nya untuk mencari nafkah dari tempat lain, dan penertiban itu memang perlu dilakukan untuk kebaikan bersama. Kalau tidak ada yang tertib bagaimana kita akan merasa nyaman? Akan terjadi kekacauan dimana-mana. Ya mungkin takdir yang kurang beruntung untuk mereka para pedagang yang menggantungkan mata pencahariaanya dengan berjualan di stasiun bertahun-tahun. Takdir ya?
Gerbong satu 16A, tempat duduk yang harus aku cari saat ini. Lima belas menit lagi kereta akan berangkat, aku harus segera mencarinya, gerbong satu sama dengan gerbong paling depan,yang paling dekat dengan lokomotif. Gerbong satu merupakan gerbong yang sering dihindari, mungkinn karena jika terjadi tabrakan gerbong satu paling banyak korban, tapi ya sudahlah namanya kecelakaan kita tidak pernah tau. KAI pasti juga memeberikan layanan yang terbaik. Ah, sudah banyak orang disana, dan kursiku ada yang duduk disana.
“Duduk di sini?” Pertanyaan bodoh menurutku,jelas saja nomer tempat duduk tertera di tiket tapi tetap harus sopan dengan yang lebih tua. “Iya pak.” “oya, silakan neng.” Ah, aku salah sangka ternyata bapak-bapak itu hanya menumpang duduk,dan geser kesebelah. Duduk memandang jendela,tempat yang strategis untuk melihat pemandangan luar ketika bosan. Satu blok tinggal satu tempat kosong, mungkin nanti sampai Tasikmalaya akan diisi, tapi ternyata lima menit sebelum berangkat si empunya datang menempati.  Lengkaplah 6 orang berhadap-hadapan menempati kursi. Sesak memang tapi tak terasa sepi. Cerita mengalr dari bapak-bapak yang akan turun di Solo, disambung dengan cerita dari bapak yang akan turun di Kroya, bertambah seru dari anak muda yang yang akan turun di Banjar, dan aku mendengarkan cerita dan sesekali menjawab pertanyaan dan melontarkan pertanyaan. Suka sekali suasana yang seperti ini, riuh bercerita tentang masa lalu dan nasehat-nasehat dari orang tua.
Tapi ada yang berbeda ketika aku melihat orang yang duduk di sebrang kursi. Dia memakai pakaian yang biasa kaos hitam oblong, sedikit lesu dan dan Nampak menikmati perjalanan. Tak berbicara satupun dengan orang disekitarnya, tampak sibuk dengan smartphone yang dia bawa. Mungkin dia sedang menghubungi temannya, atau mungkin pacarnya, yang aku yakin dia bukan orang Jogja. Ada yang suatu de javu saat melihatnya, merasa kenal padanya padahal tidak. Mendengarkan cerita sambil berspekulasi sendiri tentangnya, entah dimana pernah bertemu dengan orang itu. Orang yang tak asing tapi nyatanya asing. Dia yang duduk di seberang sana.
Sudah pukul 12 malam, masih asyik dengan cerita masa lalu meski penumpang yang lain sudah terlelap menuju mimpi masing-masing. Dan aku masih mengamati dia yang duduk di seberang sana, masih terjaga, dan mulai membuka snack yang dibawanya, lapar di tengah malam, dan membuka tas ranselnya mengeluarkan bantal leher si Brown. Aku pikir dia akan mengeluarkan apa, ternyata sempat juga dia membawa bantal. Aku tersenyum geli melihatnya dan seketika itu dia memandang ke arahku. Beberapa detik seperti waktu berhenti dan beberapa detik kemudian aku langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela. Mungkin dia tau aku memperhatikannya sepanjang perjalanan. Ah aku merasa bodoh! Baru kali ini aku merasa penasaran dengan apa yang dilakukan orang di kereta, biasanya juga langsung tidur.
Aku terlelap dalam mimpi yang aneh dan saat terbangun sudah pukul setengah lima, sebentar lagi aku sampai tujuanku, stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Setelah kejadian semalah aku tak beraniuntuk mengamatinya lagi. Tapi mungkin saja dia sudah turun ketika aku terlelap, aku beranikan diri unruk melirik ke arah seberang, dan benar saja dia sudah tidak ada. Kenapa aku merasa sedikit kecewa, terbangun dan tak menemukannya di tempat duduknya. Sudahlah bukan rejekiku mungkin. Dia orang asing yang tak asing. Takdirku hanya bertemu dengannya, hanya saling memandang. Kursi-kursi yang padamulanya penuh kiri sudah mulai kosong, aku dan bapak yang akan turun di Solo, dan saatnya kini aku turun.
Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta
Rasanya sudah lama tak menginjakan kaki di sini. Sambil menunggu kereta berhenti, ku amati sekitarku lagi. Entah kenapa aku masih berharap bertemu dengannya.

“Awas!” suara yang mengagetkanku. Hampir saja aku terjatuh saat turun dari kereta, karena rokku terinjak oleh penumpang yang ada di belakangku. Dia! Dia membantuku, menahanku agar tidak jatuh. Ya Tuhan, bukankah dia tadi sudah tidak ada? Kenapa sekarang dia ada? Dan Jogja? Kenapa dia turun disini? Ah pikiranku semalam ternyata salah. Mungkin dia benar bukan orang Jogja tapi akan liburan di Jogja. Atau mungkin dia orang asli Jogja? Entahlah. “Te..Terimakasih.” ucapku padanya yang gugup tak karuan. Takdir yang aneh, Jogjakarta kota sejuta pesona dengan cinta. Mungkin takdir itu yang membawaku pulang ke kota ini, dan bertremu dengannya. Ya hanya bertemu dengannya. Dia pergi menuju pintu keluar, dan aku hanya menatap punggungnya, mungkin takdir yang lain akan mempertemukan kita, aku  dan dia. Jogjakarta, selalu menjadi tempat yang istimewa. Jogja, aku, dan dia.

0 komentar:

Posting Komentar

tea.blutterfly@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.