Jogja, aku dan dia
Sudah saatnya aku pulang, otakku
sudah sangat penat dengan kerja keras yang masih tetap sama berkutat dengan
Tugas akhir. Ya aku mahasiswa tingkat akhir yang sudah melebihi masa studi di
kampus. Kampus putih biru, dari sekian mahasiswa yang msih belum mendapatkan
gelar sarjana teknik, akulah itu. Tapi aku tak berkecil hati karena untuk
menjadi mahasiswa teknik saja sudah menjadi kebanggaan tersendiri, ya seorang
perempuan menjadi engineer. Hanya ada alasan kenapa bisa disini, tersesat masuk
jurusan teknik atau tidak ada pilihan lain untuk melarikan diri dari rumah
selepas SMA itu yang ada dipikiranku. Namun kita tak tau takdir apa yang akan
datang esok, masih menjadi sebuah misteri. Ah, terlalu banyak, pulang.
Stasiun Kiaracondong, Bandung
Ah, rasanya lama sekali gak
pulang. Dulu seringnya aku pakai kereta bisnis atau eksekutif untuk pulang
kerumah, karena mungkin jarang banget pulang dan lebih nyaman, karena kereta
ekonomi terlalu penuh sesak oleh orang
dan pedagang di kereta. Selain itu juga kereta ekonomi lama sampai tujuan
karena hamper setiap stasiun yang dilewati berhenti. Tapi, saat ini lebih
nyaman naik kereta ekonomi selain keadaannya sudah berubah menjadi lebih
bersih, ber AC selain itu juga tidak ada tiket berdiri dan jarang pedagang yang
masuk kereta. Selain itu juga banyak sekali kita bisa bertemu dengan orang-
orang yang bisa kita ajak ngobrol sepanjang perjalanan. Tujuan akhirku?
Jogjakarta.
Aku rasa stasiun ini banyak
berubah juga, lebih tertib dan rapi. Hampir setiap stasiun kini tertib dan
rapi. Pedagang yang tidak tertib kini sudah direlokasi. Mungkin pendapatan
mereka akan berkurang atau bahkan tak punya pendapatan lagi nanti, tapi inilah
realita,atau mungkin takdir-Nya untuk mencari nafkah dari tempat lain, dan penertiban
itu memang perlu dilakukan untuk kebaikan bersama. Kalau tidak ada yang tertib
bagaimana kita akan merasa nyaman? Akan terjadi kekacauan dimana-mana. Ya
mungkin takdir yang kurang beruntung untuk mereka para pedagang yang
menggantungkan mata pencahariaanya dengan berjualan di stasiun bertahun-tahun.
Takdir ya?
Gerbong satu 16A, tempat duduk
yang harus aku cari saat ini. Lima belas menit lagi kereta akan berangkat, aku
harus segera mencarinya, gerbong satu sama dengan gerbong paling depan,yang
paling dekat dengan lokomotif. Gerbong satu merupakan gerbong yang sering
dihindari, mungkinn karena jika terjadi tabrakan gerbong satu paling banyak
korban, tapi ya sudahlah namanya kecelakaan kita tidak pernah tau. KAI pasti
juga memeberikan layanan yang terbaik. Ah, sudah banyak orang disana, dan
kursiku ada yang duduk disana.
“Duduk di sini?” Pertanyaan bodoh
menurutku,jelas saja nomer tempat duduk tertera di tiket tapi tetap harus sopan
dengan yang lebih tua. “Iya pak.” “oya, silakan neng.” Ah, aku salah sangka
ternyata bapak-bapak itu hanya menumpang duduk,dan geser kesebelah. Duduk
memandang jendela,tempat yang strategis untuk melihat pemandangan luar ketika
bosan. Satu blok tinggal satu tempat kosong, mungkin nanti sampai Tasikmalaya
akan diisi, tapi ternyata lima menit sebelum berangkat si empunya datang
menempati. Lengkaplah 6 orang
berhadap-hadapan menempati kursi. Sesak memang tapi tak terasa sepi. Cerita
mengalr dari bapak-bapak yang akan turun di Solo, disambung dengan cerita dari
bapak yang akan turun di Kroya, bertambah seru dari anak muda yang yang akan
turun di Banjar, dan aku mendengarkan cerita dan sesekali menjawab pertanyaan
dan melontarkan pertanyaan. Suka sekali suasana yang seperti ini, riuh
bercerita tentang masa lalu dan nasehat-nasehat dari orang tua.
Tapi ada yang berbeda ketika aku
melihat orang yang duduk di sebrang kursi. Dia memakai pakaian yang biasa kaos
hitam oblong, sedikit lesu dan dan Nampak menikmati perjalanan. Tak berbicara
satupun dengan orang disekitarnya, tampak sibuk dengan smartphone yang dia
bawa. Mungkin dia sedang menghubungi temannya, atau mungkin pacarnya, yang aku
yakin dia bukan orang Jogja. Ada yang suatu de javu saat melihatnya, merasa
kenal padanya padahal tidak. Mendengarkan cerita sambil berspekulasi sendiri tentangnya,
entah dimana pernah bertemu dengan orang itu. Orang yang tak asing tapi
nyatanya asing. Dia yang duduk di seberang sana.
Sudah pukul 12 malam, masih asyik
dengan cerita masa lalu meski penumpang yang lain sudah terlelap menuju mimpi
masing-masing. Dan aku masih mengamati dia yang duduk di seberang sana, masih
terjaga, dan mulai membuka snack yang dibawanya, lapar di tengah malam, dan
membuka tas ranselnya mengeluarkan bantal leher si Brown. Aku pikir dia akan
mengeluarkan apa, ternyata sempat juga dia membawa bantal. Aku tersenyum geli
melihatnya dan seketika itu dia memandang ke arahku. Beberapa detik seperti
waktu berhenti dan beberapa detik kemudian aku langsung mengalihkan pandangan
ke luar jendela. Mungkin dia tau aku memperhatikannya sepanjang perjalanan. Ah
aku merasa bodoh! Baru kali ini aku merasa penasaran dengan apa yang dilakukan
orang di kereta, biasanya juga langsung tidur.
Aku terlelap dalam mimpi yang
aneh dan saat terbangun sudah pukul setengah lima, sebentar lagi aku sampai tujuanku,
stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Setelah kejadian semalah aku tak beraniuntuk
mengamatinya lagi. Tapi mungkin saja dia sudah turun ketika aku terlelap, aku
beranikan diri unruk melirik ke arah seberang, dan benar saja dia sudah tidak
ada. Kenapa aku merasa sedikit kecewa, terbangun dan tak menemukannya di tempat
duduknya. Sudahlah bukan rejekiku mungkin. Dia orang asing yang tak asing.
Takdirku hanya bertemu dengannya, hanya saling memandang. Kursi-kursi yang
padamulanya penuh kiri sudah mulai kosong, aku dan bapak yang akan turun di
Solo, dan saatnya kini aku turun.
Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta
Rasanya sudah lama tak
menginjakan kaki di sini. Sambil menunggu kereta berhenti, ku amati sekitarku
lagi. Entah kenapa aku masih berharap bertemu dengannya.
“Awas!” suara yang mengagetkanku.
Hampir saja aku terjatuh saat turun dari kereta, karena rokku terinjak oleh
penumpang yang ada di belakangku. Dia! Dia membantuku, menahanku agar tidak
jatuh. Ya Tuhan, bukankah dia tadi sudah tidak ada? Kenapa sekarang dia ada?
Dan Jogja? Kenapa dia turun disini? Ah pikiranku semalam ternyata salah.
Mungkin dia benar bukan orang Jogja tapi akan liburan di Jogja. Atau mungkin
dia orang asli Jogja? Entahlah. “Te..Terimakasih.” ucapku padanya yang gugup
tak karuan. Takdir yang aneh, Jogjakarta kota sejuta pesona dengan cinta.
Mungkin takdir itu yang membawaku pulang ke kota ini, dan bertremu dengannya.
Ya hanya bertemu dengannya. Dia pergi menuju pintu keluar, dan aku hanya
menatap punggungnya, mungkin takdir yang lain akan mempertemukan kita, aku dan dia. Jogjakarta, selalu menjadi tempat
yang istimewa. Jogja, aku, dan dia.
0 komentar:
Posting Komentar