Jumat, 17 September 2010

Di ujung senja

“Diam!!!!”
“Kenapa aku harus diam Kak?” Air matanya tak henti mengalir. Raut wajah Kak Irvan membuat Tanza takut untuk memandangnya. Sejak saat itu Tanza tak berani lagi bertanya tentang orang itu. Dan menyimpan pertanyaan itu rapat – rapat di dalam hatinya. Tanza tahu Kak Irvan gak bermaksud untuk membentaknya. Ada yang disembunyikan Kak Irvan.
Semakin diam dan hening. Memori itu masih terekam jelas dalam benak Tanza. Kini Tanza sudah memasuki gerbang SMA tapi peristiwa 3 tahun lalu masih membayang – bayanginya. Laki – laki misterius itu masih saja ada dalam mimpi – mimpinya, ada di sekitarnya dan Tanza merasa diawasi. Tentunya dia tak berani mengungkapkan itu pada Kak Irvan.
***
“Weits, ngelamunin apa sih dek?”Irvan mencoba membaca pikiran adiknya
“Heh? Eh apa?” lamunan itu buyar.
“Sudah jangan ngelamun terus! Ntar kesambet lagi? Itu dipanggil mama.”
“Iya kak.”
Pikirannya masih melayang kemana – mana. Masih ada lubang di hatinya yang ia simpan rapat – rapat . Seakan mulutnya terkunci dan terikat kuat – kuat. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan gundah di hatinya. Tanza hanya bisa berharap waktu akan menjawab semua pertanyaan yang ada dipendamnya. Dengan malas ia menghampiri mama ke dapur.
” Masak apa ma? Aku mau yang masak dong? Boleh ya?” Tanza mulai merayu mamanya.
” Nggak! Ntar semua sakit perut lagi?” sanggah Irvan
” Ah, kak Irvan gitu. Kemaren kan udah ngerasain nasi goreng buatanku kan?”
” Iya dan hasilnya harus bolak – balik kamar mandi.”
” Gara – gara yang lain kali.” Tanza masih mencoba untuk meyakinkan mamanya.
” Udah- udah. Kalian ini ribut mulu. Kamu bantu potong-potong sayur aja, Za. Dan kamu Van, bantu mama bersihin meja makan. Papa ntar pulang.”
” Lho kok gitu? Aku kan..” belum selese irvan protes mama udah mengeluarkan lirikan tajam.
***
Musim tlah berganti tapi musim penghujan tak mampu menyejukkan hatinya. Papa sudah pergi lagi untuk pekerjaannya. Beberapa hari ini Tanza merasa laki – laki yang ia tanyakan dulu kembali menghantuinya. Semakin bertanya Tanza semakin takut untuk berpikir. Rintik hujan mulai turun tapi Tanza tak peduli akannya. Pikirannya mulai kacau.
” Dek!” teriakan Irvan tak dihiraukannya. Kacau. Matanya mulai menutup. Hitam. Irvan berlari dan menggapai adiknya.
” Ma, Tanza..tanza...” setelah menelepon mamanya Irvan masih saja tak tenang. Berjalan kesana kemari di lorong rumah sakit yang begitu dia hafal. Iangatannya kembali ke masa itu.
” Tidak. Tidak akan ku serahkan bayi ini ketangan orang itu Mas.” air mata mama mengalir deras.
” Tapi dia ayahnya, Laksmi. Ibunya juga berharap dia yang mengasuhnya.”
” Gak. Ayah? Ayah macam apa dia? Dia meninggalkan adikku saat dia hamil. Membuangnya. Dan menyebabkan adikku mati karena melahirkan anaknya. Aku gak rela Mas. Aku yang akan mengasuh bayi ini!!”
” Baiklah, kita akan mengasuh bayi ini bersama-sama. Kamu juga harus bilang ini pada Irvan. Jangan sampai dia merasa jadi anak tiri kelak.” air matanya tak henti mengalir sampai Irvan kecil datang.
” Van, mana adikmu? Apa kata dokter? Dia gak papa kan Van?” kedatangan mama membuat lamunan Irvan buyar.
”Emm..masih di UGD ma. Dokter belum keluar. Gak papa ma. Tanza pasti kuat. Dia kan akan yang kuat.” Irvan mencoba tersenyum untuk menenangkan mamanya.
” Sudah kamu telpon papa,Van? Sebaiknya nanti saja.”
” Belum. Ma, itu dokter keluar.”
Mama pergi dengan dokter dengan wajah yang sangat sedih. Irvan berharap adiknya tidak kenapa-kenapa. Saat kembali, Irvan melihat mama menangis. Ia tau pasti ada yang buruk terjadi. Tapi ia mencoba untuk tenang.
” Ada apa Ma? Tanza gak papa kan? Ma...” mama masih terdiam. Ia terus saja menangis. Meraih HP. Tapi nomor yangdihubungi sedang tidak aktif.
” Ma..Kenapa?”
”Tanza..Tanza..kritis..dia butuh banyak darah tapi...” Mama tak sanggup meneruskan kata-katanya.
” Tapi apa ma?”
” Tapi ...stoknya habis..kamu tau kan..kita..kita berbeda golongan darah dengan dia..” semakin menjadi-jadi tangisan mama. Irvan tak bisa membayangkan hal ini sekarang. Pikirannya mulai tak tenang. Ia mulai membayangkan hal – hal yang tidak – tidak. Mereka hanya bisa terdiam dan berharap pada keajaiban. Termangu di barisan kursi tunggu.
” Biar saya saja.” suara itu membuat Irvan dan Mama mendongak ke atas. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya Irvan berdiri.
” Kamu?! Apa yang kamu lakukan disini? Mau membunuh Tanza juga? Tak cukupkah semua yang kamu lakukan selama ini?!” Irvan tak bisa menahan emosinya. Ia tau Brata mengikuti adiknya beberapa tahun lalu.
” Maaf. Semua ini salahku. Salahku.Aku cuma ingin melihat Tanza tadi. Tapi sepertinya dia ketakutan dan lari tanpa melihat jalan. Dan aku mengikutimu sampai kesini. Tolong ijinkan aku untuk mendonorkan darahku dan setelah itu aku akan benar-benar pergi.Tolong..demi Tanza”
” Apa? Jadi tadi semua karena kamu!!! Gak!! Tidak ku ijinkan!” Irvan semakin tidak bisa mengotrol emosinya. Pukulan keras mendarat ke muka Brata. Ia tersungkur. Namun ia tak membalas pukulan Irvan. Sejenak hening.
***
” Kak, dua hari yang lalu aku bertemu laki-laki tiga tahun lalu yang kutanyakan.”
” Sudahlah. Dia tak akan mengganggumu lagi. Tidurlah. Lupakan dia. Janji?” Irvan tersenyum.Tanza mengangguk pelan. Ia tak kan bertanya lagi tentang laki-laki itu. Ia telan semua dan mencoba melupakan. Memejamkan mata. Irvan lega kini adiknya masih bisa merajut mimpi-mimpi bersamanya. Irvan membelai rambut adiknya yang tertidur diranjang putih rumah sakit dan berjanji akan menjaga adiknya layaknya adik kandung. Mengubur dalam-dalam rahasia itu. Di ujung senja ini Irvan kan tersenyum untuk Tanza.



solo,di ujung senja 2008
_shine_

0 komentar:

Posting Komentar

tea.blutterfly@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.