Minggu, 12 Juli 2015

Jakarta, Aku dan Dia

Jakarta,
Kota ini begitu sumpek dengan segala kemewahan yang ada di dalamnya. Entah kenapa aku belum bisa cocok dengan kota ini, padahal suka atau tidak aku harus tinggal disini setidaknya satu tahun kedepan. Ibukota Indonesia ini belum bisa menjadi magnet untukku tinggal lebih lama kalau bukan untuk mencari sesuap nasi. Kalo dibandingkan dengan kampung halamanku jelas Jogja lebih kuno dengan kota ini, tapi namanya juga tanah kelahiran tetap saja nyaman. Setelah selesai berkutat dengan tugas akhir dan akhirnya bisa mengenakan jubah kebesaran bernama toga, kota ini adalah tempat untuk mencari sesuap nasi. Segala macam ada di sini, apapun ada di sini, tapi tetap hati tak bisa dibohongi, sepi rasanya diantara hingar bingar ibukota. Sepi dalam keramaian.
Stasiun Gambir,
Stasiun di tengah ibukota, di pusat ibukota, stasiun yang melayani perjalanan kereta bisnis dan eksekutif  ke berbagai kota di pulau Jawa. Disinilah aku berada. Stasiun yang tak pernah sepi dengan penumpang yang akan ke ibukota maupun yang akan meninggalkan ibukota. Selain berbagai fasilitas yang lengkap ini disini, juga ditambahkan adanya shelter perjalanan bis yang bisa dilanjutkan ke bandara Soekarno-Hatta maupun ke pulau seberang yaitu pulau Sumatra tepatnya Lampung. Akses ke stasiun ini pun sudah sangat gampang baik menggunakan transportasi pribadi maupun umum. Tapi saying sekali sekarang KRL tidak berhenti di stasiun ini, padahal dulu ketika KRL masih berhenti di stasiun ini memudahkan wisatawan untuk pergi ke monas, karena letak stasiun yang sangat dekat dengan Monas. Mungkin ini kenapa aku merasa sedikit ganjil dan sedikit sepi dengan tidak adanya penumpang KRL yang naik dan turun. Maka jadinlah sekarang yang akan turun di Gambir pindah ke stasiun Juanda atau stasiun Gondangdia.
Perjalanan kali ini tak mungkin aku bertemu dengannya, bisa saja aku bertemu dengannya tapi itu sangat kecil kemungkinannya. Aku dan dia sekarang memang sudah pindah ke ibukota setelah dia menyelesaian masa koas dan sekarang benar – benar menjadi dokter di salah satu rumah sakit di kota ini. Tapi tak mengapa, setidaknya aku tak sendirian untuk pulang ke kota kembang, salah satu teman sekantor yang satu alumni ikut pulang karena ada suatu hal yang harus kita urus. Dan beruntungnya kita mendapatkan tiket promo dengan diskon hamper 50%. Inilah kemudahan dan keasyikan dalam dunia serba digital, dimana tiket kereta sekarang sudah dapat dibeli secara online dimanapun dan kapanpun serta banyak diskon juga yang ditawarkan. Ya inilah perjalan pertamaku ke kota kembang dengan kereta. Kereta eksekutif yang menawarkan perjalanan Jakarta-Bandung tidak lebih dari tiga jam.
Bandung, aku masih saja belum bisa menghilangkan kecintaanku terhadap kota itu, disanalah tempat banyak pelajaran aku terima secara langsung maupun tidak. Pelajaran kehidupan dan mungkin juga cinta. Jatuh cinta? Sesuatu yang wajar bukan untuk seorang yang masih mencari apa yang ingin dia cari. Mungkin itu juga yang aku rasakan dengan kota itu, jatuh cinta dengan segala macam yang ada disana beserta isinya dan tentu dengan segala kekurangannya. Ataukah aku juga jatuh cinta dengannya? Dia yang aku temui di kota itu? Mungkin saja, tapi aku juga tak tau. Terlalu singkat untuk meyimpulkan hal yang tak bisa dikalkulasikan dengan rumus matematika. Dia terlalu banyak yang dia punya hingga rasa kagum itu muncul, ya mungkin saja itu hanya suatu kekaguman yang ku rasa.
Panggilan untuk kereta yang akan membawaku ke Bandung sudah terdengar. Hampir saja tadi terlambat untuk menukarkan tiket kereta, karena diwajibkan datang maksimal satu jam sebelum keberangkatan kereta untuk menukarkan tiket online dengan tiket sebenarnya. Tapi untungnya sekarang disediakan tempat untuk cetak tiket mandiri. Dengan kode booking yang kita punya bisa cetak mandiri tiket kita, sangat mudah. Ah, ini kemajuan dari perkeretaapian Indonesia. Aku berjalan menuju peron tempat kereta sudah menungguku. Karena tiket promo aku dan temanku mendapatkan tempat duduk yang terpisah, tapi penumpang yang duduk di sampingku bersedia untuk bertukaran dengan temanku. Masih banyak orang baik di sini. Perjalanan dimulai. Ini juga perjalanan pertama temanku naik kereta, tapi berbeda ini benar-benar perjalan pertamanya, bukan sepertiku yang sudah bolak-balik naik kereta. Temanku terlihat sangat antusias dengan perjalannya kali ini dan kita bercerita kesana kemari.  Akhirnya setelah Cikampek kita merasa lelah dan temanku tertidur sedang aku masih terjaga.
Ah Bandung, akhirnya aku kesana lagi, walaupun kali ini hanya perjalan singkat menghabiskan akhir pekan dari penatnya ibukota. Ingatanku terbawa pada kejadian waktu itu. Tak sengaja aku bertemu dengannya.
Bandung, beberapa waktu silam
Aku terjebak disini, konser salah satu band terkenal seantero Indonesia, siapa yang gak kenal Sheila on seven? Mungkin hanya anak kecil atau orang tua saja. Kalau saja tak kekurangan orang aku tak mungkin ada disini untuk liputan acara dies natalies salah satu UKM yang mengundang band ini. Memang aku sdikit tak suka dengan liputan yang berhubungan dengan konser, hiburan yang hingar binger aku lebih suka meliput acara sosial atau sejenisnya. “Makasih lho mbak, udah nemenin buat liputan.” kata Michel  si ketua redaksi yang akhirnya turun langsung. “ Kalau bukan kosong  juga gak mau kali” “Makasih pokoknya” katanya sambil menyunggingkan senyum lebar. Sebagian anggota sedang sakit da nada juga yang lagi sibuk sepertiku menyelesaikan tugas akhir, tapi aku sedikit beruntung karena tinggal sedikit revisi sana sini. Akhirnya aku kalah juga kubalas dengan senyuman yang terpaksa.
“ Hai” ada yang menepuk bahuku dari samping, karena focus bicara dengan Michel. Betapa kagetnya karena yang menepuk bahuku adalah dia. Untuk apa dia kesini pikirku sekilas, ya tentu saja buat nonton konser lah jawabku selanjutnya. “ Wah lupa ya?” lanjutnya. Ya mana mungkin lupa to mas pikirku. “ Wah benar lupa nie? Masih mikir gitu?” lanjutnya lagi. “Eh, enggak kok mas. Inget kok inget, cuma heran aja kok bisa disini? Buat nonton konser ya? Eh ya jelas lah ya.” Kataku sedikit tak karuan. Entah mengapa jadi tak konsen. “ Hahahaha. Engga juga, mau nyari kamu. Mau nagih bukunya.” Katanya dengan ringan. “Eh?” kataku bingung. “ Engga dibawa bukunya.” Lanjutku. “ Hahahaha. Engga Cuma bercanda.  Tadi diajakin temen kesini, awalnya sih ga tertarik cuma pas denger yang ngadain kampusmu jadi pengen ikut sapa tau ketemu ma kamu, jadi bisa nagih bukunya sekaliyan, eh ketemu beneran.” Katanya dengan tawa yang ringan. Tuhan inikah yang dinamakan kebetulan yang meneynangkan atau buah dari kita saling membantu di saat kesulitan? Aku tak tau apa namanya, tapi terimakasih untuk ini. Tapi kebahagiaan ini cuma sementara, Michel menyikutku memberikan kode untuk segera melakukan wawancara dengan si ketua penyelenggara acara dan ketua UKM. Setelah pamit, akhirnya aku haarus melangkah untuk pergi, tapi sempat tadi kita janji untuk ketemu lagi seusai aku wawancara.
Akhirnya tugas hari ini selesai, rasanya ingin cepat-cepat melangkahkan kaki ke tempat yang sudah dijanjikan tadi. “ Buru-buru amat sih mbak, mau ketemu mas-mas tadi ya? Siapa dia mbak? Bukan mahasiswa sini ya? Cakep juga.” Banyak banget pertanyaan yang dilemparkan si Michel ini, maklum sudah makanan sehari-harinya dengan pertanyaan untuk menggali banyak informasi. “Ntar deh aku critain, aku duluan ya, sana itu udah ditunggu si pacar tuh.” Elakku sambil mengejeknya. Dia hanya tersenyum malu-malu. “ Kok sendirian, mana temennya mas?” sapaku padanya yang sendirian di sebuah bangku di luar panggung. Ya kita janji bertemu di luar panggung, karena dia suka dengan So7 tapi berdesak-desakan dengan banyak orang dia kurang suka, sedangkan aku memang tak suka dengan hingar binger konser, jadilah aku dan dia disini. “udah selesai? Iya, temenku masih di dalam, masih belum puncak acara. Aku males ah disana, sumpek.” “Iya udah selesai. Hmm.Gitu ya?” Ah aku tak tau kenapa aku jadi mati gaya,hanya itu kata yang bisa aku ucapkan? Rasanya aku mengutuk diriku sendiri. ” Jadi mana bukunya? Eh iya ga dibawa ya?” “Iya, kan mas gak bilang mau kesini?” Eh gimana dia bisa ngasih tau mau kesini atau engga kan baru ketemu waktu itu dan gak saling bertukar nomor atau akun sosmed. “Hahahaha. Gimana bisa ngasih tau kan aku gak tau nomermu?” Nah kan bener kan apa yang aku pikirkan. Jadilah kita bertukar nomor. Band yang ditunggu sudah naik panggung. “Gak mau kedalam?” tanyaku padanya. “Gak ah disini aja, didengerin dari sini aja gakpapa.” “Gak dicari temennya?” “Ah paling mereka juga lupa.” Jawabnya singkat, dan dia mulai bertanya tentang keseruan di buku lanjutan yang akan dia pinjam dan kita larut dalam cerita tentang kisah yang ada di buku tersebut. Tanpa sengaja aku melihat jam tangan dan ternyata sudah hamper tengah malam, parahnya aku lupa kalau aku masih memparkirkan motorku di depan student center. “ Wah sudah malam ya. Kayaknya acaranya masih lumayan lama. Kamu dijemput?” tanyanya, seolah tau kekhawatiranku setelah melihat jam angan tadi. “Dijemput? Sama siapa?” “Ya sama pacar kamu mungkin?” tanyanya sedikit mengambang. “Hahahaha. Pacar yng mana mas? Bawa motor sendiri kok tadi tapi masih di depan student center. Duh, mana harus lewat lorong gelap lagi.” Ah! Kenapa aku bilang begitu ya, biasa nya juga jalan kesana sendiri, tapi tanpa sadar seperti itu yang kata yang terucap. “Yuk aku temenin ke sana ambil motormu, ntar lewat sini lagi kan? Jadi ntar aku diantar kesini lagi” katanya sambil berdiri. “Eh, iya lewat sini juga bisa, tapi gak usah mas, biasanya juga sendiri kesana. Ntar kamu dicari lagi?” “Sama siapa?” “Pacarmu mungkin.” Jawabku asal, hanya untuk membalas jawaban yang tadi. Dia hanya tersenyum, dan bersiap jalan. “Ayo.” Dia mengulurkan tanganya untuk membantuku berdiri.
Dug. Prang. Terdengar suara lemparan batu ke jendela kereta tepat di samping temanku.  Temanku terbangun dan ada raut ketakutan di wajahnya. “ Lo gakpapa?” “Enggak papa sih, kayak gini sering ya?” “Enggak juga kok.” Karena merasa bertanggung jawab petugas kereta yang duduk di kursi sebelah menawarkan kepada kami untuk bertukar tempat duduk, sedangkan mereka memanggil petugas keamanan. Sejenak hening da nada suasana yang kurang menyenangkan. Petugas keamanan dan kebersihan datang kemudian mengecek kondisi kaca yang retak, untungnya tak sampai pecah. “Wah perjalanan pertama jadi kurang menyenangkan.” Gumam temanku. “Tapi jangan kapok kapok naik kereta ya, pada dasarnya enak kok naik kereta.” “ Asal ada yang nemenin lagi aja naik keretanya. Kalau gak serem ntar begini lagi.” Sedikit demi sedikit suasana kembali normal.
Pada akhirnya temenku gak jadi tidur lagi karena sedikit khawatir dan kita malah bercerita kesana kemari.  Tapa sadar aku tersenyum mengingat kejadian itu, entah apa yang membuatku senang. “Eh ngapain lo senyum-senyum sendiri?” Suara dari sebelah mengagetkanku, ternyata temanku sudah bangun. “Lo ngebayangin yang jorok-jorok kan? Ato lo pasti abis jailin gue kan?” tanyanya penasaran. “Apaan sih. Kagak ngapa-ngapain gue. Ada deh, mau tau aja.” Temenku masih penasaran kenapa tadi aku senyum-senyum. Sedikit perubahan yang aku rasakan pada diriku sendiri adalah ketika seseorang yang sudah biasa menggunakan gue-lu maka aku akan memakai seperti itu, walau kadang masih kaku, tapi di ibukota sudah biasa, bukan tak sopan, tapi memang sudah budaya. Tapi untuk menggunakan itu di kampung halaman tentu aku harus berfikir dua kali, karena banyak hal yang membuatku tak bisa untuk melakukan itu. “Ah yasudah.” Akhirnya temenku menyerah tidak menanyakan lagi. Itu juga karena kita ditakjubkan dengan pemandangan diluar yaitu rel kereta diatas yang bisa melihat jalan tol Bandung-Jakarta dan pemandangan yang menakjubkan sunset di kereta. “Eh lo ntar dijemput siapa? Gue dijemput terus langsung ke tempat sodara di Antapani. Mau bareng gak?” “Ogah, lo kan dijemput ma pacar lo, trus gue mau ditaruh mana? Taulah, cuma basa basi doing kan?” Temenku cuma senyam-senyum dengan jawaban yang aku lontarkan. “Hahahahha. Tau aja sih? Paling lo minta jemput adek kelas lo itu kan? Siapa Michel? Makanya cari pacar sono? Knapa sih lo gak mau pacaran? Lo ga jelek-jelek amat, ga secantik gue sih tapi lo pinter kok, iye pinteran lo ketimbang gue.” Mataku melotot kearah temenku yang masih senyum-senyum puas mengejekku. De javu, pertanyaan yang sama yang pernah dia lontarkan.
Akhirnya aku berjalan sedikit belakang darinya menuju tempat parkir student center. Dan tiba-tiba dia bertanya “Kok pacarmu gak nganterin?” Aku hanya diam ketika pertanyaan itu dia lontarkan. “Lagi marahan ya?” tanyanya lagi. “Gak punya pacar akunya mas. Jadi gak ada yang nganterin. Aku juga gak mau pacaran.” “Kenapa gak mau pacaran? Gak boleh ma ortu? Kan kamu udah gede.” “Hmm. Kenapa ya? Mas sendiri kenapa pacaran?” Aku dan dia hanya diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tak tahu juga sebenarnya dia sudah punya kekasih atau belum, tau mungkin sudah punya tunangan atau bahkan istri? Aku tak berani untuk bertanya lebih jauh, karena dia pun hanya diam tak menjawab. Tak tau kenapa ada rasa sedih di sudut hati untuk membayangkan dia sudah punya tambatan hati.
“ Kok lo malah ngelamun sih? Jadi kenapa lo gak mau pacaran?” “ Gak tau juga sih. Dulunya sih pengen, tapi setelah  baca banyak buku, dan baca Al Qur’an tentunya serta pengikuti kajian etika bergaul dengan dalam islam ya gitu. Pacaran itu bukan ajang buat kita mengenal seseorang, ya kalo mengenal lebih jauh bisa lewat taaruf dan kemundian menikah. Banyak maksiatnya dalam pacaran. Itu menurut pandanganku lho ya. Kayak ini aturan Tuhan buatku berlaku juga untuk semua muslim. Tapi kan gak bisa maksain juga. Aku sih gak masalah kalau temen-temenku mau pacaran, ya itu gak bisa maksain kalau kita sudah berusaha buat ngasih tau.” “Owh gitu.  Pantes kemaren si Cungkring patah hati.” “ Apaan sih. Udah lah. Gitu pokonya.” Aku berusaha buat mengalihkan pembicaraan. Pacaran ya? Banyak pendapat tentang hal ini. Tapi saling menghargai pendapat satu sama lain adalah sebuah keharmonisan yang harus dijaga.
Perjalanan ini membawaku pada harapan baru di tempat lama. Tak terasa sudah akan memasuki kota Bandung. Sudah terlihat jalan tol Cipularang dari atas kereta. Kalau dengan kendaraan pribadi atau bus aku bisa melihat rel kereta yang membentang jauh disana saat di tol kini aku sebaliknya. Pemandangan yang menakjubkan. Senja di kereta. Perjananan ini memang bukan untuk mencarinya, tapi mungkin perjalanan ini untuk mencari siapa kita sebenarnya. Dia tak di kota ini, dia ada di sana, di gemerlap ibukota, Jakarta.
Stasiun Hall Bandung
Akhirnya sampai juga di kota kembang. Rasanya sudah tak sabar untuk jalan-jalan menghilangkan rasa penat. Sudah banyak tempat yang ada dalam list liburan yang sudah menanti. “Beneran gak mau bareng? Udah malam lho.” “Udah sono pulang, gue mau ditaruh mana? Kalau bawa mobil sih iya mau nebeng.” Tawa pecah di antara kita dan temanku berpamitan dan bersiap melangkah menghampiri pacarnya. Tinggallah aku sendiri menanti jemputan. Saat sibuk mengedarkan pandangan mencari Michel entah aku berhalusinasi atau gak aku melihat dia. Sedikit bergedup kencang jantungku, entah kenapa. Kakiku seolah ingin cepat menghampiri nya dan menanyakan kabarnya tapi terhenti seketika saat aku melihat seseorang perempuan tinggi semampai menghampirinya dari belakang. Mungkin hanya halusinasi itu pikirku. Aku melenggang menghampiri Michel yang sudah kutemukan. Rasanya seperti mendapatkan hadiah yang besar ada rasa senang yang luar biasa tapi ketika dibuka hadiah itu kosong ada sedikit kekecewaan. “Eh mbak udah disini aja, tadi mau kesana lho.” “Hehehe. Yuk pulang.” Ada banyak kemungkinan mungkin saja tadi memang dia atau bisa jadi bukan. Tapi sudahlah, aku tak ingin ini mengganggu liburanku yang hanya sebentar. Kalaupun dia mungkin inilah jawaban. Aku tak bisa berharap apapun lagi tentangnya.  Yang terjadi aku dan dia hanya sebuah kebetulan yang indah. Jika disini adalah tempat kita bertemu mungkin ini adalah tempat kita berpisah lalu saling mengenang. Kalau kita berjodoh rumah adalah tujuan kita. Aku teringang kata-katanya waktu itu.

0 komentar:

Posting Komentar

tea.blutterfly@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.