Jakarta,
Kota ini begitu sumpek dengan segala kemewahan yang
ada di dalamnya. Entah kenapa aku belum bisa cocok dengan kota ini,
padahal suka atau tidak aku harus tinggal disini setidaknya satu tahun
kedepan. Ibukota Indonesia ini belum bisa menjadi magnet untukku tinggal
lebih lama kalau bukan untuk mencari sesuap nasi. Kalo dibandingkan
dengan kampung halamanku jelas Jogja lebih kuno dengan kota ini, tapi
namanya juga tanah kelahiran tetap saja nyaman. Setelah selesai berkutat
dengan tugas akhir dan akhirnya bisa mengenakan jubah kebesaran bernama
toga, kota ini adalah tempat untuk mencari sesuap nasi. Segala macam
ada di sini, apapun ada di sini, tapi tetap hati tak bisa dibohongi,
sepi rasanya diantara hingar bingar ibukota. Sepi dalam keramaian.
Stasiun Gambir,
Stasiun
di tengah ibukota, di pusat ibukota, stasiun yang melayani perjalanan
kereta bisnis dan eksekutif ke berbagai kota di pulau Jawa. Disinilah
aku berada. Stasiun yang tak pernah sepi dengan penumpang yang akan ke
ibukota maupun yang akan meninggalkan ibukota. Selain berbagai fasilitas
yang lengkap ini disini, juga ditambahkan adanya shelter perjalanan bis
yang bisa dilanjutkan ke bandara Soekarno-Hatta maupun ke pulau
seberang yaitu pulau Sumatra tepatnya Lampung. Akses ke stasiun ini pun
sudah sangat gampang baik menggunakan transportasi pribadi maupun umum.
Tapi saying sekali sekarang KRL tidak berhenti di stasiun ini, padahal
dulu ketika KRL masih berhenti di stasiun ini memudahkan wisatawan untuk
pergi ke monas, karena letak stasiun yang sangat dekat dengan Monas.
Mungkin ini kenapa aku merasa sedikit ganjil dan sedikit sepi dengan
tidak adanya penumpang KRL yang naik dan turun. Maka jadinlah sekarang
yang akan turun di Gambir pindah ke stasiun Juanda atau stasiun
Gondangdia.
Perjalanan kali ini tak mungkin aku bertemu dengannya,
bisa saja aku bertemu dengannya tapi itu sangat kecil kemungkinannya.
Aku dan dia sekarang memang sudah pindah ke ibukota setelah dia
menyelesaian masa koas dan sekarang benar – benar menjadi dokter di
salah satu rumah sakit di kota ini. Tapi tak mengapa, setidaknya aku tak
sendirian untuk pulang ke kota kembang, salah satu teman sekantor yang
satu alumni ikut pulang karena ada suatu hal yang harus kita urus. Dan
beruntungnya kita mendapatkan tiket promo dengan diskon hamper 50%.
Inilah kemudahan dan keasyikan dalam dunia serba digital, dimana tiket
kereta sekarang sudah dapat dibeli secara online dimanapun dan kapanpun
serta banyak diskon juga yang ditawarkan. Ya inilah perjalan pertamaku
ke kota kembang dengan kereta. Kereta eksekutif yang menawarkan
perjalanan Jakarta-Bandung tidak lebih dari tiga jam.
Bandung, aku
masih saja belum bisa menghilangkan kecintaanku terhadap kota itu,
disanalah tempat banyak pelajaran aku terima secara langsung maupun
tidak. Pelajaran kehidupan dan mungkin juga cinta. Jatuh cinta? Sesuatu
yang wajar bukan untuk seorang yang masih mencari apa yang ingin dia
cari. Mungkin itu juga yang aku rasakan dengan kota itu, jatuh cinta
dengan segala macam yang ada disana beserta isinya dan tentu dengan
segala kekurangannya. Ataukah aku juga jatuh cinta dengannya? Dia yang
aku temui di kota itu? Mungkin saja, tapi aku juga tak tau. Terlalu
singkat untuk meyimpulkan hal yang tak bisa dikalkulasikan dengan rumus
matematika. Dia terlalu banyak yang dia punya hingga rasa kagum itu
muncul, ya mungkin saja itu hanya suatu kekaguman yang ku rasa.
Panggilan
untuk kereta yang akan membawaku ke Bandung sudah terdengar. Hampir
saja tadi terlambat untuk menukarkan tiket kereta, karena diwajibkan
datang maksimal satu jam sebelum keberangkatan kereta untuk menukarkan
tiket online dengan tiket sebenarnya. Tapi untungnya sekarang disediakan
tempat untuk cetak tiket mandiri. Dengan kode booking yang kita punya
bisa cetak mandiri tiket kita, sangat mudah. Ah, ini kemajuan dari
perkeretaapian Indonesia. Aku berjalan menuju peron tempat kereta sudah
menungguku. Karena tiket promo aku dan temanku mendapatkan tempat duduk
yang terpisah, tapi penumpang yang duduk di sampingku bersedia untuk
bertukaran dengan temanku. Masih banyak orang baik di sini. Perjalanan
dimulai. Ini juga perjalanan pertama temanku naik kereta, tapi berbeda
ini benar-benar perjalan pertamanya, bukan sepertiku yang sudah
bolak-balik naik kereta. Temanku terlihat sangat antusias dengan
perjalannya kali ini dan kita bercerita kesana kemari. Akhirnya setelah
Cikampek kita merasa lelah dan temanku tertidur sedang aku masih
terjaga.
Ah Bandung, akhirnya aku kesana lagi, walaupun kali ini
hanya perjalan singkat menghabiskan akhir pekan dari penatnya ibukota.
Ingatanku terbawa pada kejadian waktu itu. Tak sengaja aku bertemu
dengannya.
Bandung, beberapa waktu silam
Aku
terjebak disini, konser salah satu band terkenal seantero Indonesia,
siapa yang gak kenal Sheila on seven? Mungkin hanya anak kecil atau
orang tua saja. Kalau saja tak kekurangan orang aku tak mungkin ada
disini untuk liputan acara dies natalies salah satu UKM yang mengundang
band ini. Memang aku sdikit tak suka dengan liputan yang berhubungan
dengan konser, hiburan yang hingar binger aku lebih suka meliput acara
sosial atau sejenisnya. “Makasih lho mbak, udah nemenin buat liputan.”
kata Michel si ketua redaksi yang akhirnya turun langsung. “ Kalau
bukan kosong juga gak mau kali” “Makasih pokoknya” katanya sambil
menyunggingkan senyum lebar. Sebagian anggota sedang sakit da nada juga
yang lagi sibuk sepertiku menyelesaikan tugas akhir, tapi aku sedikit
beruntung karena tinggal sedikit revisi sana sini. Akhirnya aku kalah
juga kubalas dengan senyuman yang terpaksa.
“ Hai” ada
yang menepuk bahuku dari samping, karena focus bicara dengan Michel.
Betapa kagetnya karena yang menepuk bahuku adalah dia. Untuk apa dia
kesini pikirku sekilas, ya tentu saja buat nonton konser lah jawabku
selanjutnya. “ Wah lupa ya?” lanjutnya. Ya mana mungkin lupa to mas
pikirku. “ Wah benar lupa nie? Masih mikir gitu?” lanjutnya lagi. “Eh,
enggak kok mas. Inget kok inget, cuma heran aja kok bisa disini? Buat
nonton konser ya? Eh ya jelas lah ya.” Kataku sedikit tak karuan. Entah
mengapa jadi tak konsen. “ Hahahaha. Engga juga, mau nyari kamu. Mau
nagih bukunya.” Katanya dengan ringan. “Eh?” kataku bingung. “ Engga
dibawa bukunya.” Lanjutku. “ Hahahaha. Engga Cuma bercanda. Tadi
diajakin temen kesini, awalnya sih ga tertarik cuma pas denger yang
ngadain kampusmu jadi pengen ikut sapa tau ketemu ma kamu, jadi bisa
nagih bukunya sekaliyan, eh ketemu beneran.” Katanya dengan tawa yang
ringan. Tuhan inikah yang dinamakan kebetulan yang meneynangkan atau
buah dari kita saling membantu di saat kesulitan? Aku tak tau apa
namanya, tapi terimakasih untuk ini. Tapi kebahagiaan ini cuma
sementara, Michel menyikutku memberikan kode untuk segera melakukan
wawancara dengan si ketua penyelenggara acara dan ketua UKM. Setelah
pamit, akhirnya aku haarus melangkah untuk pergi, tapi sempat tadi kita
janji untuk ketemu lagi seusai aku wawancara.
Akhirnya
tugas hari ini selesai, rasanya ingin cepat-cepat melangkahkan kaki ke
tempat yang sudah dijanjikan tadi. “ Buru-buru amat sih mbak, mau ketemu
mas-mas tadi ya? Siapa dia mbak? Bukan mahasiswa sini ya? Cakep juga.”
Banyak banget pertanyaan yang dilemparkan si Michel ini, maklum sudah
makanan sehari-harinya dengan pertanyaan untuk menggali banyak
informasi. “Ntar deh aku critain, aku duluan ya, sana itu udah ditunggu
si pacar tuh.” Elakku sambil mengejeknya. Dia hanya tersenyum malu-malu.
“ Kok sendirian, mana temennya mas?” sapaku padanya yang sendirian di
sebuah bangku di luar panggung. Ya kita janji bertemu di luar panggung,
karena dia suka dengan So7 tapi berdesak-desakan dengan banyak orang dia
kurang suka, sedangkan aku memang tak suka dengan hingar binger konser,
jadilah aku dan dia disini. “udah selesai? Iya, temenku masih di dalam,
masih belum puncak acara. Aku males ah disana, sumpek.” “Iya udah
selesai. Hmm.Gitu ya?” Ah aku tak tau kenapa aku jadi mati gaya,hanya
itu kata yang bisa aku ucapkan? Rasanya aku mengutuk diriku sendiri. ”
Jadi mana bukunya? Eh iya ga dibawa ya?” “Iya, kan mas gak bilang mau
kesini?” Eh gimana dia bisa ngasih tau mau kesini atau engga kan baru
ketemu waktu itu dan gak saling bertukar nomor atau akun sosmed.
“Hahahaha. Gimana bisa ngasih tau kan aku gak tau nomermu?” Nah kan
bener kan apa yang aku pikirkan. Jadilah kita bertukar nomor. Band yang
ditunggu sudah naik panggung. “Gak mau kedalam?” tanyaku padanya. “Gak
ah disini aja, didengerin dari sini aja gakpapa.” “Gak dicari temennya?”
“Ah paling mereka juga lupa.” Jawabnya singkat, dan dia mulai bertanya
tentang keseruan di buku lanjutan yang akan dia pinjam dan kita larut
dalam cerita tentang kisah yang ada di buku tersebut. Tanpa sengaja aku
melihat jam tangan dan ternyata sudah hamper tengah malam, parahnya aku
lupa kalau aku masih memparkirkan motorku di depan student center. “ Wah
sudah malam ya. Kayaknya acaranya masih lumayan lama. Kamu dijemput?”
tanyanya, seolah tau kekhawatiranku setelah melihat jam angan tadi.
“Dijemput? Sama siapa?” “Ya sama pacar kamu mungkin?” tanyanya sedikit
mengambang. “Hahahaha. Pacar yng mana mas? Bawa motor sendiri kok tadi
tapi masih di depan student center. Duh, mana harus lewat lorong gelap
lagi.” Ah! Kenapa aku bilang begitu ya, biasa nya juga jalan kesana
sendiri, tapi tanpa sadar seperti itu yang kata yang terucap. “Yuk aku
temenin ke sana ambil motormu, ntar lewat sini lagi kan? Jadi ntar aku
diantar kesini lagi” katanya sambil berdiri. “Eh, iya lewat sini juga
bisa, tapi gak usah mas, biasanya juga sendiri kesana. Ntar kamu dicari
lagi?” “Sama siapa?” “Pacarmu mungkin.” Jawabku asal, hanya untuk
membalas jawaban yang tadi. Dia hanya tersenyum, dan bersiap jalan.
“Ayo.” Dia mengulurkan tanganya untuk membantuku berdiri.
Dug. Prang.
Terdengar suara lemparan batu ke jendela kereta tepat di samping
temanku. Temanku terbangun dan ada raut ketakutan di wajahnya. “ Lo
gakpapa?” “Enggak papa sih, kayak gini sering ya?” “Enggak juga kok.”
Karena merasa bertanggung jawab petugas kereta yang duduk di kursi
sebelah menawarkan kepada kami untuk bertukar tempat duduk, sedangkan
mereka memanggil petugas keamanan. Sejenak hening da nada suasana yang
kurang menyenangkan. Petugas keamanan dan kebersihan datang kemudian
mengecek kondisi kaca yang retak, untungnya tak sampai pecah. “Wah
perjalanan pertama jadi kurang menyenangkan.” Gumam temanku. “Tapi
jangan kapok kapok naik kereta ya, pada dasarnya enak kok naik kereta.” “
Asal ada yang nemenin lagi aja naik keretanya. Kalau gak serem ntar
begini lagi.” Sedikit demi sedikit suasana kembali normal.
Pada
akhirnya temenku gak jadi tidur lagi karena sedikit khawatir dan kita
malah bercerita kesana kemari. Tapa sadar aku tersenyum mengingat
kejadian itu, entah apa yang membuatku senang. “Eh ngapain lo
senyum-senyum sendiri?” Suara dari sebelah mengagetkanku, ternyata
temanku sudah bangun. “Lo ngebayangin yang jorok-jorok kan? Ato lo pasti
abis jailin gue kan?” tanyanya penasaran. “Apaan sih. Kagak
ngapa-ngapain gue. Ada deh, mau tau aja.” Temenku masih penasaran kenapa
tadi aku senyum-senyum. Sedikit perubahan yang aku rasakan pada diriku
sendiri adalah ketika seseorang yang sudah biasa menggunakan gue-lu maka
aku akan memakai seperti itu, walau kadang masih kaku, tapi di ibukota
sudah biasa, bukan tak sopan, tapi memang sudah budaya. Tapi untuk
menggunakan itu di kampung halaman tentu aku harus berfikir dua kali,
karena banyak hal yang membuatku tak bisa untuk melakukan itu. “Ah
yasudah.” Akhirnya temenku menyerah tidak menanyakan lagi. Itu juga
karena kita ditakjubkan dengan pemandangan diluar yaitu rel kereta
diatas yang bisa melihat jalan tol Bandung-Jakarta dan pemandangan yang
menakjubkan sunset di kereta. “Eh lo ntar dijemput siapa? Gue dijemput
terus langsung ke tempat sodara di Antapani. Mau bareng gak?” “Ogah, lo
kan dijemput ma pacar lo, trus gue mau ditaruh mana? Taulah, cuma basa
basi doing kan?” Temenku cuma senyam-senyum dengan jawaban yang aku
lontarkan. “Hahahahha. Tau aja sih? Paling lo minta jemput adek kelas lo
itu kan? Siapa Michel? Makanya cari pacar sono? Knapa sih lo gak mau
pacaran? Lo ga jelek-jelek amat, ga secantik gue sih tapi lo pinter kok,
iye pinteran lo ketimbang gue.” Mataku melotot kearah temenku yang
masih senyum-senyum puas mengejekku. De javu, pertanyaan yang sama yang
pernah dia lontarkan.
Akhirnya aku berjalan sedikit belakang
darinya menuju tempat parkir student center. Dan tiba-tiba dia bertanya
“Kok pacarmu gak nganterin?” Aku hanya diam ketika pertanyaan itu dia
lontarkan. “Lagi marahan ya?” tanyanya lagi. “Gak punya pacar akunya
mas. Jadi gak ada yang nganterin. Aku juga gak mau pacaran.” “Kenapa gak
mau pacaran? Gak boleh ma ortu? Kan kamu udah gede.” “Hmm. Kenapa ya?
Mas sendiri kenapa pacaran?” Aku dan dia hanya diam sibuk dengan pikiran
masing-masing. Aku tak tahu juga sebenarnya dia sudah punya kekasih
atau belum, tau mungkin sudah punya tunangan atau bahkan istri? Aku tak
berani untuk bertanya lebih jauh, karena dia pun hanya diam tak
menjawab. Tak tau kenapa ada rasa sedih di sudut hati untuk membayangkan
dia sudah punya tambatan hati.
“ Kok lo malah ngelamun sih?
Jadi kenapa lo gak mau pacaran?” “ Gak tau juga sih. Dulunya sih pengen,
tapi setelah baca banyak buku, dan baca Al Qur’an tentunya serta
pengikuti kajian etika bergaul dengan dalam islam ya gitu. Pacaran itu
bukan ajang buat kita mengenal seseorang, ya kalo mengenal lebih jauh
bisa lewat taaruf dan kemundian menikah. Banyak maksiatnya dalam
pacaran. Itu menurut pandanganku lho ya. Kayak ini aturan Tuhan buatku
berlaku juga untuk semua muslim. Tapi kan gak bisa maksain juga. Aku sih
gak masalah kalau temen-temenku mau pacaran, ya itu gak bisa maksain
kalau kita sudah berusaha buat ngasih tau.” “Owh gitu. Pantes kemaren
si Cungkring patah hati.” “ Apaan sih. Udah lah. Gitu pokonya.” Aku
berusaha buat mengalihkan pembicaraan. Pacaran ya? Banyak pendapat
tentang hal ini. Tapi saling menghargai pendapat satu sama lain adalah
sebuah keharmonisan yang harus dijaga.
Perjalanan ini membawaku
pada harapan baru di tempat lama. Tak terasa sudah akan memasuki kota
Bandung. Sudah terlihat jalan tol Cipularang dari atas kereta. Kalau
dengan kendaraan pribadi atau bus aku bisa melihat rel kereta yang
membentang jauh disana saat di tol kini aku sebaliknya. Pemandangan yang
menakjubkan. Senja di kereta. Perjananan ini memang bukan untuk
mencarinya, tapi mungkin perjalanan ini untuk mencari siapa kita
sebenarnya. Dia tak di kota ini, dia ada di sana, di gemerlap ibukota,
Jakarta.
Stasiun Hall Bandung
Akhirnya sampai juga di kota
kembang. Rasanya sudah tak sabar untuk jalan-jalan menghilangkan rasa
penat. Sudah banyak tempat yang ada dalam list liburan yang sudah
menanti. “Beneran gak mau bareng? Udah malam lho.” “Udah sono pulang,
gue mau ditaruh mana? Kalau bawa mobil sih iya mau nebeng.” Tawa pecah
di antara kita dan temanku berpamitan dan bersiap melangkah menghampiri
pacarnya. Tinggallah aku sendiri menanti jemputan. Saat sibuk
mengedarkan pandangan mencari Michel entah aku berhalusinasi atau gak
aku melihat dia. Sedikit bergedup kencang jantungku, entah kenapa.
Kakiku seolah ingin cepat menghampiri nya dan menanyakan kabarnya tapi
terhenti seketika saat aku melihat seseorang perempuan tinggi semampai
menghampirinya dari belakang. Mungkin hanya halusinasi itu pikirku. Aku
melenggang menghampiri Michel yang sudah kutemukan. Rasanya seperti
mendapatkan hadiah yang besar ada rasa senang yang luar biasa tapi
ketika dibuka hadiah itu kosong ada sedikit kekecewaan. “Eh mbak udah
disini aja, tadi mau kesana lho.” “Hehehe. Yuk pulang.” Ada banyak
kemungkinan mungkin saja tadi memang dia atau bisa jadi bukan. Tapi
sudahlah, aku tak ingin ini mengganggu liburanku yang hanya sebentar.
Kalaupun dia mungkin inilah jawaban. Aku tak bisa berharap apapun lagi
tentangnya. Yang terjadi aku dan dia hanya sebuah kebetulan yang indah.
Jika disini adalah tempat kita bertemu mungkin ini adalah tempat
kita berpisah lalu saling mengenang. Kalau kita berjodoh rumah adalah
tujuan kita. Aku teringang kata-katanya waktu itu.
Minggu, 12 Juli 2015
tea.blutterfly@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar