Minggu, 12 Juli 2015

Surakarta, Aku, dan Dia




Stasiun Balapan Solo, Surakarta
Solo, disini aku kembali datang, sekian lama setelah penat di ibukota, meski ini adalah perjalanan untuk keperluan kerja tapi tak apa. Meskipun Jogja-Solo begitu dekat, tapi aku tak bisa pulang sejenak ke rumah. Rasanya aku ingin mengambil kereta paling pagi hari ini untuk pulang sejenak ke rumah, lagi lagi harus kecewa karena orang yang di rumah ternyata di kota ini juga. Entah ada acara apa di rumah eyang hari ini, sampai ibu dan bapak harus menginap satu hari sebelumnya, mungkin kah kesehatan beliau kurang baik? Aku hanya berharap eyang selalu sehat dan bisa melihat semua cucunya menuju pelaminan. Ah klasik. Pelaminan? Topik ini pasti akan dibawa lagi dalam perbincangan keluarga, ini yang membuatku tak nyaman dan ingin di rumah saja. Dia, apakabar ya? Mungkinkah dia sudah menemukan tambatan hatinya, mungkinkah perempuan yang aku lihat di stasiun Bandung waktu itu? Mereka sangat mirip, kata orang dua orang yang mempunyai wajah yang mirip hanya ada dua pilihan mereka saudara atau mereka berjodoh. Aku berharap mereka bersaudara, mungkin itu hanya sebuah pengharapan untuk menenangkan diri.
“ Hai, ngelamun aja.” Suara dari depan yang mengagetkanku. Suara mas Putra, rekan kantor yang kali ini menjadi partnerku untuk perjalanan kali ini. Orang yang supel, luwes, baik dan kata orang di kantor terlalu baik kepadaku dibandingkan dengan yang lain. Hanya aku yang terlalu cuek tak melihat kebaikannya atau aku terlalu memikirkan dia, yang entah dimana. “ Baru jam 2 ni, kamu mau pulang ke tempat eyangmu atau ikut nginep ke hotel?”
“Disuruh pulang mas. Nanti dijemput, kayaknya sih udah di parkiran. Ehm, laper ga mas? Ikut  makan nasi liwet dulu yuk mas? Langganan Bapak dari dulu, kalo kesini pasti disempetin mampir kesana. Nanti dianterin deh sampe hotel.”
“ Wah kayaknya enak, boleh. Gakpapa nie?”
“Gakpapa lah, tenang aja, yang jemput sepupuku kok, dia juga suka nasi liwet, selama ditraktir pasti oke deh. Maklum masih mahasiswa.”
“ Mba Ning!” Panggilan yang tak asing di telingaku. Aku segera mencari sumber suara, dan ketemu, Doni cucu ragil ( terakhir) eyang tersenyum lebar menyambutku. Sudah besar ternyata, ya iyalah! Apa sih yang aku pikirkan, mahasiswa tingkat tiga jelas sudah terlihat dewasa.
“ Yo!” Aku mengaacak-acak rambutnya, tentu saja Doni sangat sebal dengan kebiasaanku ini, katanya terlihat sebagai anak kecil. Bagiku memang begitu, si bungsu dari sekian cucu eyang tetap paling kecil dan paling disayang oleh semua pakde budhe nya, dan tentunya sepupunya. Dulu posisi itu aku yang menempati, tapi dua tahun kemudian Doni lahir jadilah aku merasa semua perhatian hilang dan aku sedikit semena-mena terhadapnya. “Mampir dulu beli nasi liwet ya, oya kenalin ini mas Putra.”
“Putra.” “Doni, panggil aja iyud.” Mereka saling berkenalan kemudian Doni membisikan sesuatu “Calon ya mbak?” “Bukan!” entah kenapa aku merasa kesal dengan pertanyaan Doni tanpa sadar aku menjawab dengan sedikit berteriak, kulihat ekspresi mas Putra yang keheranan dan Doni yang puas menggodaku.
Mobilpun melenggang di jalananan kota Solo yang sepi, tidak seperti di ibukota yang 24 jam masih terasa hingar binger. Di kota ini, yang aku tau setelah pukul 9 malam jalanan sudah lengang. Kendaraan umum sudah tidak ditemui seusai magrib kecuali bus antar kota antar provinsi. Jadi untuk pergi malam pun harus menggunakan kendaraan pribadi. Seusai menikmati nasi liwet, aku duduk di jok belakang, kubiarkan mas Putra dan Doni di depan, selain agar mereka bebas bercerita akupun sudah mulai mengantuk. Mataku terpejam, tapi aku masih mendengar samar-samar mereka berdua masih mengobrol da nada juga namaku disebut-sebut dan kemudian mereka tertawa. Apa yang mereka obrolkan aku penasaran, tapi rasa kantuk tak mau pergi. Aku terbangun ketika sudah memasuki pelataran rumah eyang. “Kok ga dibangunin sih waktu udah nyampe hotel, kan gak enak gak pamitan sama mas Putra.” Protesku pada Doni. “Udah mbak, tapi mas Putra bilang gak udah dibangunin ya udah deh langsung setelah turun pulang nyampe sini. Mbak sih molor aja, sampe dikasih jaketnya mas Putra ga tau kan?” Kulihat sebuah jaket sudah menyelimutiku, dan aku segera bangun dan masuk ke dalam rumah, bapak dan ibu sudah menunggu ternyata. Kukira beliau sudah tidur, tapi ternyata masih menungguku. Setelah salaman dan melepas kangen bapak dan ibu pergi ke kamar dan aku terdiam di kursi ruang tv, dan tertidur. Denting jam dinding membangunkanku, pukul lima pagi. Eyang sudah berada di kursi goyang kesayangannya. Cepat-cepat aku bangun dan memberi salam, eyang hanya tersenyum menanyakan kabarku, berbincang dengan eyang membuatku lebih banyak tau tentang budaya jawa. Aku berjalan keluar rumah.
Apa kau lihat langit pagi ini? Terlalu putih dan dingin karena kabut, mungkin semesta tau hati ini dingin. Hangatnya mentari pagi tak menyapa, sinarnya tak memberi cahaya, layaknya kota mati, gelap. Tapi aku tau ini hanya sementara, sang surya akan segera datang, atau hujan akan segera turun? Mengingatkan aku dan dia, sementara dalam keadaan berkabut, tak jelas, tapi terang mungkin akan datang atau tangisan?
“Mba Ning, ke CFD yuk? Ajak mas Putra gih?” Doni tiba-tiba datang dari belakang mengagetkanku.“Males ah, masih capek, ih ngapain ngajak mas Putra segala kasian tau capek, besok kita tuh mau kerja” jawabku asal. Entah apa yang dibicarakan Doni dan Mas Putra semalam, sepertinya Doni sudah akrab.
“Ya biar tau kota ini, kerjanya juga masih besok, nanti juga masih bisa istirahat, banyak alasan banget sih mba, ayo lah.” Doni mulai merajuk, pasti ada apa-apa ini.
 “Kan mba harus bantu-bantu masak buat acara nanti sore, oya ada acara apa sih ntar? Tumben kok sore, gak malem aja?”
“Masak ga tau sih mba, kan hari jadi pernikahannya bapak sama ibu ke 25 tahun, ya sore karena biar pakdhe sama budhe pulang ke Jogjanya ga terlalu malem.”
“Ya gak ada yang bilang, gimana mba bisa tau, yah ga bawa kado nih.” “Makanya ayo ke CFD, udah ditungguin mas Putra disana.” “ Kok bisa?” Aku masih bertanya, tapi Doni sudah mengeluarkan dua sepeda. Huh! Ini namanya pemaksaan tapi perlu juga sih  batinku.
Kawasan Jalan Slamet Riyadi sudah ramai dengan orang yang membawa sepeda dan berjalan hilir mudik, tak ada kendaraan bermotor tentunya, berbeda dengan hari biasanya yang tak semacet Jakarta tapi selalu ramai kendaraan bermotor di kawasan ini. Kukayuh sepeda pelan, ini mengingatkanku pertama kalinya main ke CFD di Bandung bersamanya.  Aku dan dia menyusuri jalan Buah Batu sampai ke Dago, menyusuri jalanan Bandung pagi hari, tentu lelah tapi meneyenangkan. Jalanan yang tak selalu datar, ada kalanya menanjak, dan tak sesepi di jalan ini. Sempat aku berhenti sejenak karena terlalu bersemangat bersepeda tapi tak bertenaga lagi untuk mengayuh di jalanan yang menanjak. Dia menunggu di depan dan menyemangatiku, dengan susah payah akhirnya sampai di kawasan Dago. “Capek ya?” “Lumayan juga ternyata, untung bawa banyak air.” “Ini.” Dia memberikan saru bungkus bubur kacang, tapi karena aku tak terlalu suka aku menolaknya, hmm, betapa bodohnya aku, harusnya aku menerimanya, tapi aku tak bisa memaksakan perutku. “Sebenernya masih ada yang di Dago Atas, sampai daerah bukit bintang, tapi lain kali saja kita kesana, keliatannya kamu udah kecapekan banget.” “ Hehehe. Iya sih mas,pulangnya kita lewat jalan yang sama?” “Gak dong, kita lewat gedung sate, terus mampir ke rumah buku ya? Seringnya sih aku gitu.” “ Owh mas sering sepedaan juga ya? Pantes tadi akrab sama club sepeda tadi.”
“Mba Ning, itu mas Putra.” Doni membangunkanku dari lamunanku. “Owh.” Mas Putra berjalan menghampiri aku dan Doni. Aku tersenyum, tapi aku juga getir, bayangannya selalu ada tapi seseorang yang pasti ada didepanku. Aku tak bisa membohongi kalau aku masih mengharapkan untuk bertemu dengan dia. Apa kabar dia?
Senja, Rumah Eyang
“Nduk sini.” Panggilan eyang yang lembut membuatku sedikit kurang enak, aku lalu duduk di samping beliau. “Ada apa eyang?” “ Kamu ingat Pakdhe Budhe Jaya? Yang dulu rumahnya di sebelah eyang, yang sekarang di Palembang.” “Iya ingat eyang, beberapa bulan lalu sempat mampir ke rumahnya yangdi Palembang, ada apa Yang?” “Itu putrinya, Masnya katanya di Jakarta juga, udah jadi dokter tapi gak bisa datang.”  Aku tau arah pembicaraan eyang setelah ini, pasti akan ada perkenalan dan mungkin perjodohan. Tuhan aku mungkin bukan orang yang pemilih, tapi tidakkah aku bisa memilih siapa yang menjadi imamku? Aku melihat anak perempuan yang ditunjukan eyang, kira-kira sepantaran dengan Doni, setelah kuperhatikan dengan seksama, anak perempuan itu orang yang kulihat bersama dia saat itu di stasiun Bandung. Kebetulan macam apa ini? Sulit dipercaya, haruskah aku bersikap tak biasa? Aku percaya tak ada kebetulan, karena sudah ada yang mengatur,  tapi harus kusebut apa ini? Memang aku tak ingat wajah anak-anak Pakdhe dan Budhe dan waktu mampir kesana pun tak sempat melihat foto-foto dirumahnya, hanya membawakan pesanan ibu kemudian pulang. Ah andai saja aku tau.

__________________________________________________________________________________
yatta!! kembali lagi ke blog yang sekian lama terbengkalai.
Dengan cerita baru. mau aktif sekarang, inshaallah. udah banyak draf pikiran yang seharusnya ditulis.
Semoga aja ga keteteran dan bener-bener teralisasi.
Amiiiiin...
cerita sebelumnya part 1 part 2 part 3
 

0 komentar:

Posting Komentar

tea.blutterfly@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.