Stasiun Balapan Solo, Surakarta
Solo, disini aku kembali datang,
sekian lama setelah penat di ibukota, meski ini adalah perjalanan untuk
keperluan kerja tapi tak apa. Meskipun Jogja-Solo begitu dekat, tapi aku tak
bisa pulang sejenak ke rumah. Rasanya aku ingin mengambil kereta paling pagi
hari ini untuk pulang sejenak ke rumah, lagi lagi harus kecewa karena orang
yang di rumah ternyata di kota ini juga. Entah ada acara apa di rumah eyang
hari ini, sampai ibu dan bapak harus menginap satu hari sebelumnya, mungkin kah
kesehatan beliau kurang baik? Aku hanya berharap eyang selalu sehat dan bisa
melihat semua cucunya menuju pelaminan. Ah klasik. Pelaminan? Topik ini pasti
akan dibawa lagi dalam perbincangan keluarga, ini yang membuatku tak nyaman dan
ingin di rumah saja. Dia, apakabar ya? Mungkinkah dia sudah menemukan tambatan
hatinya, mungkinkah perempuan yang aku lihat di stasiun Bandung waktu itu?
Mereka sangat mirip, kata orang dua orang yang mempunyai wajah yang mirip hanya
ada dua pilihan mereka saudara atau mereka berjodoh. Aku berharap mereka
bersaudara, mungkin itu hanya sebuah pengharapan untuk menenangkan diri.
“ Hai, ngelamun aja.” Suara dari
depan yang mengagetkanku. Suara mas Putra, rekan kantor yang kali ini menjadi
partnerku untuk perjalanan kali ini. Orang yang supel, luwes, baik dan kata
orang di kantor terlalu baik kepadaku dibandingkan dengan yang lain. Hanya aku
yang terlalu cuek tak melihat kebaikannya atau aku terlalu memikirkan dia, yang
entah dimana. “ Baru jam 2 ni, kamu mau pulang ke tempat eyangmu atau ikut
nginep ke hotel?”
“Disuruh pulang mas. Nanti
dijemput, kayaknya sih udah di parkiran. Ehm, laper ga mas? Ikut makan nasi liwet dulu yuk mas? Langganan
Bapak dari dulu, kalo kesini pasti disempetin mampir kesana. Nanti dianterin
deh sampe hotel.”
“ Wah kayaknya enak, boleh.
Gakpapa nie?”
“Gakpapa lah, tenang aja, yang
jemput sepupuku kok, dia juga suka nasi liwet, selama ditraktir pasti oke deh.
Maklum masih mahasiswa.”
“ Mba Ning!” Panggilan yang tak
asing di telingaku. Aku segera mencari sumber suara, dan ketemu, Doni cucu
ragil ( terakhir) eyang tersenyum lebar menyambutku. Sudah besar ternyata, ya
iyalah! Apa sih yang aku pikirkan, mahasiswa tingkat tiga jelas sudah terlihat
dewasa.
“ Yo!” Aku mengaacak-acak
rambutnya, tentu saja Doni sangat sebal dengan kebiasaanku ini, katanya
terlihat sebagai anak kecil. Bagiku memang begitu, si bungsu dari sekian cucu
eyang tetap paling kecil dan paling disayang oleh semua pakde budhe nya, dan
tentunya sepupunya. Dulu posisi itu aku yang menempati, tapi dua tahun kemudian
Doni lahir jadilah aku merasa semua perhatian hilang dan aku sedikit
semena-mena terhadapnya. “Mampir dulu beli nasi liwet ya, oya kenalin ini mas
Putra.”
“Putra.” “Doni, panggil aja
iyud.” Mereka saling berkenalan kemudian Doni membisikan sesuatu “Calon ya
mbak?” “Bukan!” entah kenapa aku merasa kesal dengan pertanyaan Doni tanpa
sadar aku menjawab dengan sedikit berteriak, kulihat ekspresi mas Putra yang
keheranan dan Doni yang puas menggodaku.
Mobilpun melenggang di jalananan
kota Solo yang sepi, tidak seperti di ibukota yang 24 jam masih terasa hingar
binger. Di kota ini, yang aku tau setelah pukul 9 malam jalanan sudah lengang. Kendaraan
umum sudah tidak ditemui seusai magrib kecuali bus antar kota antar provinsi.
Jadi untuk pergi malam pun harus menggunakan kendaraan pribadi. Seusai
menikmati nasi liwet, aku duduk di jok belakang, kubiarkan mas Putra dan Doni
di depan, selain agar mereka bebas bercerita akupun sudah mulai mengantuk.
Mataku terpejam, tapi aku masih mendengar samar-samar mereka berdua masih
mengobrol da nada juga namaku disebut-sebut dan kemudian mereka tertawa. Apa
yang mereka obrolkan aku penasaran, tapi rasa kantuk tak mau pergi. Aku
terbangun ketika sudah memasuki pelataran rumah eyang. “Kok ga dibangunin sih
waktu udah nyampe hotel, kan gak enak gak pamitan sama mas Putra.” Protesku
pada Doni. “Udah mbak, tapi mas Putra bilang gak udah dibangunin ya udah deh
langsung setelah turun pulang nyampe sini. Mbak sih molor aja, sampe dikasih
jaketnya mas Putra ga tau kan?” Kulihat sebuah jaket sudah menyelimutiku, dan
aku segera bangun dan masuk ke dalam rumah, bapak dan ibu sudah menunggu
ternyata. Kukira beliau sudah tidur, tapi ternyata masih menungguku. Setelah
salaman dan melepas kangen bapak dan ibu pergi ke kamar dan aku terdiam di
kursi ruang tv, dan tertidur. Denting jam dinding membangunkanku, pukul lima
pagi. Eyang sudah berada di kursi goyang kesayangannya. Cepat-cepat aku bangun
dan memberi salam, eyang hanya tersenyum menanyakan kabarku, berbincang dengan
eyang membuatku lebih banyak tau tentang budaya jawa. Aku berjalan keluar
rumah.
Apa kau lihat langit pagi ini? Terlalu putih dan dingin karena kabut,
mungkin semesta tau hati ini dingin. Hangatnya mentari pagi tak menyapa,
sinarnya tak memberi cahaya, layaknya kota mati, gelap. Tapi aku tau ini hanya
sementara, sang surya akan segera datang, atau hujan akan segera turun?
Mengingatkan aku dan dia, sementara dalam keadaan berkabut, tak jelas, tapi
terang mungkin akan datang atau tangisan?
“Mba Ning, ke CFD yuk? Ajak mas Putra
gih?” Doni tiba-tiba datang dari belakang mengagetkanku.“Males ah, masih capek,
ih ngapain ngajak mas Putra segala kasian tau capek, besok kita tuh mau kerja”
jawabku asal. Entah apa yang dibicarakan Doni dan Mas Putra semalam, sepertinya
Doni sudah akrab.
“Ya biar tau kota ini, kerjanya
juga masih besok, nanti juga masih bisa istirahat, banyak alasan banget sih
mba, ayo lah.” Doni mulai merajuk, pasti ada apa-apa ini.
“Kan mba harus bantu-bantu masak buat acara
nanti sore, oya ada acara apa sih ntar? Tumben kok sore, gak malem aja?”
“Masak ga tau sih mba, kan hari
jadi pernikahannya bapak sama ibu ke 25 tahun, ya sore karena biar pakdhe sama
budhe pulang ke Jogjanya ga terlalu malem.”
“Ya gak ada yang bilang, gimana
mba bisa tau, yah ga bawa kado nih.” “Makanya ayo ke CFD, udah ditungguin mas
Putra disana.” “ Kok bisa?” Aku masih bertanya, tapi Doni sudah mengeluarkan
dua sepeda. Huh! Ini namanya pemaksaan tapi perlu juga sih batinku.
Kawasan Jalan Slamet Riyadi sudah
ramai dengan orang yang membawa sepeda dan berjalan hilir mudik, tak ada
kendaraan bermotor tentunya, berbeda dengan hari biasanya yang tak semacet
Jakarta tapi selalu ramai kendaraan bermotor di kawasan ini. Kukayuh sepeda
pelan, ini mengingatkanku pertama kalinya main ke CFD di Bandung
bersamanya. Aku dan dia menyusuri jalan
Buah Batu sampai ke Dago, menyusuri jalanan Bandung pagi hari, tentu lelah tapi
meneyenangkan. Jalanan yang tak selalu datar, ada kalanya menanjak, dan tak
sesepi di jalan ini. Sempat aku berhenti sejenak karena terlalu bersemangat
bersepeda tapi tak bertenaga lagi untuk mengayuh di jalanan yang menanjak. Dia
menunggu di depan dan menyemangatiku, dengan susah payah akhirnya sampai di
kawasan Dago. “Capek ya?” “Lumayan juga
ternyata, untung bawa banyak air.” “Ini.” Dia memberikan saru bungkus bubur
kacang, tapi karena aku tak terlalu suka aku menolaknya, hmm, betapa bodohnya
aku, harusnya aku menerimanya, tapi aku tak bisa memaksakan perutku. “Sebenernya
masih ada yang di Dago Atas, sampai daerah bukit bintang, tapi lain kali saja
kita kesana, keliatannya kamu udah kecapekan banget.” “ Hehehe. Iya sih
mas,pulangnya kita lewat jalan yang sama?” “Gak dong, kita lewat gedung sate,
terus mampir ke rumah buku ya? Seringnya sih aku gitu.” “ Owh mas sering
sepedaan juga ya? Pantes tadi akrab sama club sepeda tadi.”
“Mba Ning, itu mas Putra.” Doni
membangunkanku dari lamunanku. “Owh.” Mas Putra berjalan menghampiri aku dan
Doni. Aku tersenyum, tapi aku juga getir, bayangannya selalu ada tapi seseorang
yang pasti ada didepanku. Aku tak bisa membohongi kalau aku masih mengharapkan
untuk bertemu dengan dia. Apa kabar dia?
Senja, Rumah Eyang
“Nduk sini.” Panggilan eyang yang
lembut membuatku sedikit kurang enak, aku lalu duduk di samping beliau. “Ada
apa eyang?” “ Kamu ingat Pakdhe Budhe Jaya? Yang dulu rumahnya di sebelah
eyang, yang sekarang di Palembang.” “Iya ingat eyang, beberapa bulan lalu
sempat mampir ke rumahnya yangdi Palembang, ada apa Yang?” “Itu putrinya,
Masnya katanya di Jakarta juga, udah jadi dokter tapi gak bisa datang.” Aku tau arah pembicaraan eyang setelah ini,
pasti akan ada perkenalan dan mungkin perjodohan. Tuhan aku mungkin bukan orang
yang pemilih, tapi tidakkah aku bisa memilih siapa yang menjadi imamku? Aku
melihat anak perempuan yang ditunjukan eyang, kira-kira sepantaran dengan Doni,
setelah kuperhatikan dengan seksama, anak perempuan itu orang yang kulihat
bersama dia saat itu di stasiun Bandung. Kebetulan macam apa ini? Sulit
dipercaya, haruskah aku bersikap tak biasa? Aku percaya tak ada kebetulan,
karena sudah ada yang mengatur, tapi
harus kusebut apa ini? Memang aku tak ingat wajah anak-anak Pakdhe dan Budhe
dan waktu mampir kesana pun tak sempat melihat foto-foto dirumahnya, hanya
membawakan pesanan ibu kemudian pulang. Ah andai saja aku tau.
__________________________________________________________________________________
yatta!! kembali lagi ke blog yang sekian lama terbengkalai.
Dengan cerita baru. mau aktif sekarang, inshaallah. udah banyak draf pikiran yang seharusnya ditulis.
Semoga aja ga keteteran dan bener-bener teralisasi.
Amiiiiin...
0 komentar:
Posting Komentar