Selasa, 29 September 2015

Semarang, Aku, dan Dia

Stasiun Pasar Senen, Jakarta
Pagi yang indah untuk ibukota, jalanan masih lengang untuk perjalanan menuju stasiun PSenen. Ingin aku menikmati jalan seperti ini setiap hari tanpa peduli waktu,tapi itu tidak mungkin. Kota ini terlalu banyak orang hingga penuh sesak dan selalu saja macet jika bukan ini hari minggu. Dan masih terlalu pagi untuk melanglang di jalanan ibukota di hari libur yang lebih asyik digunakan untuk beristirahat lebih panjang. Semakin lama semakin baik managemen perkeretaapian Indonesia. Siapa yang gak kenal Citra Stasiun Pasar Senen yang penuh dengan jambret, copet dan segala macam kejahatan jalanan lainnya? Tapi kini sudah rapi, bersih, dan tentunya aman, perbaikan tak hanya di bagian toilet, tapi juga ruang tunggu, tata cara masuk, loket, dan tak ketinggalan tempat ibadah yang lebih besar. Masih dengan kereta ekonomi akan ku tempuh perjalanan Jakarta-Semarang, melewati jalanan pantura, yang konon kita akan melihat pemandangan yang menakjubkan karena rel yang dekat dengan laut. Setiap perjalanan ke Jogja dari Jakarta selalu melewati jalur tengah melewati Purwokerto, sedangkan kalau dari Bandung jelas menggunakan jalur selatan, dan ini perjalanan pertamaku.
Sendiri, kali ini perjalan singleku dimana yang lainnya berangkat besok. Aku memilih sendiri memang, mungkin sedikit menghindar untuk meredakan gossip antara aku dan mas Putra, atau lebih tepatnya menghindar. Lagi pula, Ibukota Jawa Tengah itu tak asing bagiku, karena ada sepupu di sana. Jantungku masih saja berdetak kencang tatkala memikirkannya. Dia siapa dia hingga membuatku seperti ini? Membuatku kacau. Terlebih sekian lama tak ada komunikasi kemarin membuatku terkejut dengan pesannya menanyakanku apakah ikut acara yang dia juga ikut di dalamnya. Aku berharap memang bertemu dengannya kemarin di acara itu, tapi takdir tak menuliskan begitu, ada dalam satu rungan besar yang sama tapi tanpa sapaan. Betapa bodohnya aku, tapi haruskah aku menanyakannya duluan? Atau harus diam? Sebenarnya apa yang aku rasa dan apa yang dia rasa?
Kereta yang membawa ku ke Semarang telah meninggalkan Stasiun Pasar Senen, aku berharap kebingunganku pun terjawab. Pertanyaan Eyang di Solo tentang perjodohan itu teriang kembali. Dan wajah anak perempuan itu pun kembali datang. Pecahan mozaik yang terlalu kacau untuk dirangkai dalam suratan yang tak  pernah dipahami manusia. Benang yang terlalu kusut.
Dering ringtone hp ku berbunyi menandakan ada pesan masuk. Apakabar? Kamu kemarin ikut acara di Balai Kartini kan? Kok ga ketemu?. Pesan darinya, dia. Pesan lain lagi masuk. Sudah sampe mana? Hati-hati di jalan. Besok kita nyusul. Pesan dari Mas Putra. Pilihan macam apa ini? Pertanyaan klasik yang sebenarnya tak perlu aku jawab. Beriak kecil, debar jantung yang tak karuan, dan mungkinkah ini pengharapan kepada manusia yang berlebihan? Siapa dirimu hingga berharap pada manusia lebih besar ketimbang penciptaNya? Pada akhirnya aku akan berdamai dengan diri sendiri. Pengharapan yang tak pasti. Pesan lain lagi datang. Nduk, sampai Semarang langsung ke pulang ya, kemarin temennya Bapak ke rumah, ada yang penting.Nanti balik lagi ke Semarang besok paginya.  Pada akhirnya mungkin takdir yang memenangkan pilihan itu. Pesan dari ibu ini pakem yang tak bisa ditolak. Dari bahasanya ini adalah sebuah perintah yang akan mengubah masa depan secara mendadak dan tak bisa ditolak.
Lepaskanlah, maka kamu akan menjadi tenang. Sebuah kalimat yang terbaca dari medsos yang menjadi jawaban. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk melepaskan semuanya. Melepasnya, Aku dan dia, hanya secuil takdir yang  indah. Pun dengan Mas Putra, aku akan melepas segala pengharapan dan angan yang dibuat rekan-rekan sejawat. Ini adalah waktunya untuk melepas semuanya. Ikhlas. Tuhan, ketika aku melepaskannya, ku tahu Engkau akan memberikan yang lebih baik sebagai ganti. Tapi semudah itukah kata melepaskan?
Benar saja pemandangan di luar jendela kereta ketika sudah akan masuk Semarang terlihat hamparan laut yang begitu dekat. Andai saja kalau bisa keluar maka kaki sudah basah dengan air asin. Jadi disinilah saat banjir rob kereta ke Semarang ataupun Surabaya tertahan. Laut lepas. Tak terlihat batas antara laut dan langit,sama-sama biru. Spektrum cahaya yang terlepas memantul satu sama lain dan akhirnya melebur. Sungguh sempurna ciptaanNya. Dan kembali lagi pikiran itu, melepaskan apa yang kita inginkan dan pada akhirnya sama melebur menjadi takdir yang indah. Bisakah keyakinan itu bersama hati yang masih gelisah? Binar mata berpendar dalam doa panjang dalam hati. Gerangan apa yang akan terjadi disana? Di masa depan?
Stasiun Semarang Tawang, Semarang Jawa Tengah
Stasiun klasik ini memberikan nuansa jaman dahulu. Memang kesan klasik di stasiun ini tak pernah lekang oleh waktu, selain dirawat dengan baik memang stasiun ini masih masuk kawasan kota lama Semarang. Banyak sekali bangunan-bangunan dengan gaya Eropa di kawasan ini. Sering pula di kawasan ini digunakan sebagai objek foto para pencari gambar termasuk aku. Yang teriang di ingatanku bagian pintu masuk stasiun dengan langit-langit yang tinggi khas gaya Eropa serta Jam gantung.
Benar saja tak berubah. Masih sama dengan kesan klasiknya. Jam hitam klasik yang selalu mengingatkanku bahwa eaktu terus berputar. Waktu untuk melepaskannya. Mungkin terhentilah waktu ingatanku dengan dia. Biarkan waktu yang akan menjawabnya. Dengan kuasaNya cerita-cerita indah akan berlanjut. Itu keyakinan saat ini. Semoga bisa istiqomah.
“Ning.” Sepupuku menjemputku untuk diantar sampai terminal untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja.
“ Mbak, maaf merepotkan lho.”
“Tenang aja, paklik tadi udah telepon kok, ga ngereopit, sayang aja gak main di sini dulu.” Seberapa penting kepulanganku? Sampai Bapak telepon Mbak Harum. Pikiranku melayang.
“Telepon? Trus bapak pesan apalagi mbak?” “Iya. Cuma buat jemput kamu dan memastikan kamu langsung ke Jogja, sepertinya penting”
“Mbak ikut aku ke Jogja sekaliyan?” “Ya ndak bisa kan nanti aku masuk malam. Salam buat paklik dan bulik aja ya. Oya salam juga buat Masmu.”
“Mas siapa? Mba ini ngawur aja.” “Lha kata Dony kemaren ada mas-mas yang ikut ke Solo?”
“Halah jangan dipercaya. Kan dia itu biang gossip. Biar rame katanya.” “ Owalah dasar.”
Obrolan ringan menemani perjalanan sampai terminal, dan pada akhirnya harus menempuh perjalanan Semarang-Jogja. Inilah cara melepaskan itu mungkin, iya mungkin ini cara Tuhan untuk membuatku melepasnya. Pesan-pesan yang masuk pada akhirnya tak terjawab dan menggantung begitu saja.


Waktu
Melepaskan bukan berarti menyerah
Tapi ini lah caraku untuk membuat kita jelas
Aku dan dia
Aku dan dia
Angan yang aku buat sendiri
Ketidakwarasan dan imajinasi
Takdir-takdir itu yang akhirnya menang
Bukan untuk mengikat satu sama lain
Hanya dengan cara halal akan menjadi halal
Lepaskanlah
Aku tak lagi berharap
Lepaskanlah
Aku tak lagi bermimpi
Karena dia bila dia jodohku
Akan datang di waktu yang tepat bersama cintanya
Keajaiban, Takdir, Mimpi
Mimpi yang semu itu lepaskanlah
Apakah takdir kan menyatukan kita atau mempermainkan kita
Lepaskanlah
Waktu akan menjawabnya


Rumah, Lembayung Senja
Belum sampai aku ambang pintu rumah, dan belum sempat salam kuucapkan Ibu dengan sumringah menyambutku. Bapak yang duduk santai di teras meletakkan korannya ketika melihatku. Aku pun mencium tangan beliau dan duduk di sampingnya.
“Buk, mbok ya dibikinin teh anakmu  ini, capek nduk?” Tak biasanya Bapak begitu basa basi. Biasanya Bapak langsung ke inti permasalahan. Tapi ini sepertinya beliau ingin bicara empat mata saja denganku. Putri semata wayangnya.
“Nduk, kamu ingat  Cahyo? Anaknya temen Bapak, Mas Jaya.” Deg. Jantungku seakan berhenti sejenak. Aku tau arah pembicaraan Bapak. Jika memang ini jawabannya. Aku ikhlas.
“ Yang mana pak? Kan waktu ke Palembang cuma ada Pakdhe sama Budhe aja.”
“Bapak juga gak tau sekarang kayak apa,kemarin Mas Jaya dan istrinya kesini, bermaksud memenuhi dan menagih janji kita dulu untuk menikahkan kaliyan berdua. Ya janji Bapak sama Mas Jaya dan sebaliknya. Kaliyan dulu deket tapi mungkin sudah lupa, karena mereka harus pindah ke Palembang.” Perjanjian macam apa yang dibuat Bapak dengan Pakdhe Jaya. Membuatku sedikit pusing. Apa aku harus menerima ini atau menolak? Mas Cahyo? Aku hanya ingat anak laki-laki yang difoto album itupun foto yang sudah blur tak jelas lagi disana. Aku hanya bisa terdiam.
“Bapak tau kamu ndak suka kan? Mungkin memang terlalu cepat, karena dulu juga perjanjiannya setelah kamu lulus kuliah kerja setaun baru ada obrolan tentang penikahan ini. Tapi rupanya nak Cahyo mau jadi dokter PTT ke pedalaman, jadi dipercepat supaya ada ikatan yang jelas, biar ga sama-sama kecantol orang lain.”
Seolah detik jam berjalan sangat lambat.
“Ini dia lagi terbang ke Jogja dari Jakarta. Oya kok kaliyan gak pernah ketemu ya di Jakarta? Udah sana istirahat dulu, siap-siap nanti kita makan malam bareng. Mereka Nanti kesini lagi.”
Aku hanya mampu terdiam, termangu. Kuyakinkan diriku ini lah jawaban. Boleh jadi apa yang kamu benci adalah jalan yang terbaik dariNya. Karena Dia yang Maha Mengetahui. Senja telah turun menjadi gelap malam yang bertabur bintang. Rasanya tak karuan.
“Kamu kenapa to nduk, kalau nanti kamu ndak suka ya bilang Bapak kamu ndak suka. Jangan mondar mandir kayak setrikaan begitu. Sudah sholat sana biar tenang.”
Benar mungkin bermunajat kepada pemilik jiwa adalah obat mujarab. Keluh kesah yang akan tersampaikan dengan tepat kepadaNya.
“Assalamualaikum.” Suara salam dari luar yang terdengar jelas olehku, adalah suara pakdhe Jaya. Terdengar Bapak menjawab salam dan mempersilakan masuk, dan sudah mengobrol.
“Ning.” Bapak memanggilku. Kutenangkan hatiku, meminta kekuatan padaNya. Aku keluar dan kebetulan macam apa ini. Bukan, ini bukan kebetulan ini adalah suratan takdirNya.
Tuhan lebih tau waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan hambaNya. Dan Rumah memang tujuan kita.




0 komentar:

Posting Komentar

tea.blutterfly@gmail.com. Diberdayakan oleh Blogger.